-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kebijakan Negara Dalam Kontra Terorisme

2/12/2020 | 2/12/2020 WIB | 0 Views Last Updated 2020-02-13T07:11:45Z



Oleh : * IRWANSYAH

Sejarah terorisme global, tidak bisa terlepas dari sejarah ketika Uni Soviet menduduki Afganistan. Menyaksikan musuh besarnya ini menguasai salah satu negara Islam ini, Amerika Serikat tidak tinggal diam. Dengan membangun strategi proxy, AS mempersenjatai kamu yang diperangi Uni Soviet tersebut. AS juga mengumpulkan para ulama wahabi dari Arab Saudi - salah satu ulamnya adalah Abdullah Azam -  mengembangkan doktrin jihad untuk membangun khilafafah Islam. Sebuah bentuk dktrin jihad tersebut, yaitu para siswa sekolah didoktrin untuk membenci orang asing yang dianggap kafir.

Ajaran jihad kala itu pun menyebar ke Indonesia, sehingga ratusan warga Indonesia berangkat ke Afganistan untuk jihad melawan Soviet yang dianggap kafir. Misi AS cukup berhasil, dengan ditandai ambruknya Soviet. Pasca perang Afgan, banyak Foreign Terrorism Fighter (FTF), sebutan untuk pelaku teror yang berjuang di Negara Asing alumni Afganistan kembali ke Indonesia. Beberapa di antara mereka terlibat dalam berbagai aksi terror di Indonesia. Katakanlah seperti bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, Kedutaan Australia, berdarahnya konflik Ambon, dan berbagai aksi terror lainnya.

Gelombang teror baru mulai muncul kembali di kawasan Timur Tengah. Sejak tahun 2014 di Suriah dan Irak terbentuk gerombolan yang jauh lebih bengis yang menamakan dirinya ISIS. Mereka mendeklarasikan khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh Abubakar Al bagdady. Ada ribuan orang Indonesia yang mabuk agama akhirnya berangkat ke Suriah dan bergabung bersama ISIS. Pasca kematian Al Bagdady, ISIS terdesak di Suriah. 

Ribuan kombatan pun ditangkap dan sebagian dimasukan ke kamp-kamp pengungsian. Dihimpun dari berbagai sumber, terdapat 1.800 orang Indonesia ada di sana. Mereka berangkat ke Suriah dengan niatan jihad dan di antaranya ada yang sampai melepas kewarganegaraan.

Menyikapi hal tersebut, tersiar kabar bahwa Menteri Agama bermaksud memulangkan 600 kombatan ISIS ke Indonesia. Beberapa kalangan berpendapat bahwa memulangkan orang yang dengan sadar melepas WNI untuk menjadi cecunguk khilafah adalah suatu hal yang beresiko dan sia-sia. Meskipun alasannya demi kemanusiaan. 

Menurut mereka Kemenag perlu juga memikirkan kemanusiaan orang-orang Yazidi di Suriah, yang diseret dengan bengis dari rumahnya, dipenggal kepalanya dan anak-anak gadis mereka menjadi tawanan di kamar-kamar gelap gerombolan ISIS. Mungkin menteri agama juga perlu mempertimbangkan kemanusiaan para korban terorisme di Indonesia karena hanya dengan 20 sampai 30 orang alumnus Afganistan, bias saja Indonesia dibuat porak poranda. 



Kekhawatian berbagai kalangan terhadap kemungkinan besar kepulangan mereka akan membawa serta ideologinya dan melanjutkan aksi terror di Indonesia, sangatlah masuk akal, mengingat rekam jejak dan sejarah kelam FTF di masa lalu. Namun demikian, kita perlu mengkaji lebih mendalam apakah mereka yang berangkat, seluruhnya karena faktor ideologi semata ataukah karena ada faktor lain. 

Kajian ini penting untuk dilakukan agar kita bijak dalam mengambil langkah. Perlu disadari juga bahwa keinginan jihad atau faktor ideologi bukanlah semata-mata menjadi alasan mereka. Namun ada juga yang berangkat karena menginginkan kehidupan yang lebih sejahtera di bawah khilafah Islamiyah yang dianggap lebih mapan bila dibandingkan dengan sistem kenegaraan dewasa ini. 

Kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan banyaknya pengangguran dapat menjadi faktor pendukung. Selain itu, solidaritas yang tinggi antar sesama muslim, fanatisme yang tidak dibarengi dengan pemahaman agama yang memadai dan ketidakmampuan menganalisa permasalahan dengan baik memicu semangat jihad yang membabi buta dan kebablasan. 

Menurut saya langkah dari Menteri Agama yang hendak memulangkan alumni FTF tersebut patut didukung. Hanya saja pemerintah perlu mengklasifikasi tingkat keterlibatan mereka, sehingga pemerintah dapat melakukan pembinaan kepada mereka atau melakukan proses hukum. Kemenag juga perlu menggandeng BNPT dan sinergi dengan Kementerian dan Lembaga dalam melakukan upaya deradikalisasi, reideologi maupun reintegrasi sosial.




(Penulis adalah Irwansyah Mahasiswa S3 STIK, PTIK Angkatan. 5)

×
Berita Terbaru Update