-->

HEADLINE NEWS

Terima Kasih Jurnalistik, Buku Itu Telah Tersaji

By On March 16, 2023

Oleh : Suryadi Penulis Buku & Pemerhati Budaya



“Saya bersyukur pernah menjadi jurnalis (“Panjimas”)

yang membuat saya mudah dan lancar menulis.

Jadi banyak buku saya”.

(Prof. Azyumardi Azra kepada penulis, 2001)

KALIMAT Azyumardi Azra (alm) itu terkesan mendalam. Setidaknya bagi penulis. Bukan lantaran sosok intelektual dan penulis ini, sangat dekat dengan saya. Bukan…, tidak sama sekali! Almarhum adalah salah salah satu narasumber yang kerap penulis wawancarai.

Sebelum 1980-an, seperti pengakuan Azyu, dia adalah jurnalis “Panji Masyarakat” --kerap diringkas  “Panjimas”. Pada kurun yang sama, majalah milik ulama besar Buya Hamka itu merupakan salah satu media cetak tempat penulis “secara lepas”  kerap menulis feature ringan tentang aktivitas keagamaan (Islam).  

Azyu, mantan Rektor UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta  dan Ketua Dewan Pers,  cukup produktif menulis buku. Ia menghasilkan banyak buku ilmiah dan berkadar ilmiah. Jauh lebih banyak ketimbang buku-buku yang penulis hasilkan, baik sendiri maupun bersama tim. Tetapi, hingga kini kebiasaan berburu serta menggali bahan untuk ditulis sebagai karya jurnalistik, telah mengantarkan penulis  lancar dan mudah menggali dan menulis naskah sejumlah buku. Terima kasih jurnalis dan jurnalistik! 


Buku tentang Polri

DARI sejumlah buku yang pernah saya tulis, kebanyakan terkait dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Terakhir,  pertengahan Februari – awal Agustus 2022, saya dan tim menulis naskah buku “Brimob Penerus Semangat Proklamator, Sebuah Catatan Perjalanan Kesetian, Keberanian dan Keikhlasan Bhayangkara Korps Brimob Polri”( Pelita, Jakarta, 2022). 

Naskah buku tersebut ditulis oleh tim terdiri atas Helsi Dinafitri Nusjirwan Badwi, Budi Nugroho, Suhardi, dan Suryadi (Ketua). Perwajahan buku bergaya majalah, digarap oleh Bharatu Eka Putra Rahmawan, dengan penguatan periset Bharatu Andri Dwi Purwandi dalam asuhan Aipda Pol. Anik Kusumawardani di Humas Korps Brimob.   

Dalam buku setebal 492 halaman dan diluncurkan oleh Dankor Brimob, Komjen Pol. Drs. Anang Revandoko, M.I.Kom bersama penulis di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jumat (10/3/23) itu, empat tokoh terkemuda memberikan sambutan. Mereka itu,  yakni Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri; Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subiyanto; Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) RI, Jenderal Pol (P) Prof. Budi Gunawan; dan Kapolri, Jenderal Pol. Drs Listyo Sigit Prabowo, M.Si.

Bagi Mega, putri mendiang Soekarno (Bung Karno), Brimob --yang cikal bakal paling awalnya adalah Polisi Istimewa (PI) sebelum kemudian brubah menjadi Mobil Brigade (Mobrig)--, punya catatan mendalam dan amat privacy. Sampai kini salah seorang di antara angota Brimob yang dulu tergabung dalam Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden I dan keluarga, Ribut namanya, masih menjadi “orang dalam lingkar dekat” Mega.

“Saya dilahirkan sebagai anak Presiden di Gedung Agung Yogyakarta, dan kemudian tumbuh besar di Istana. Dari pusat kekuasaan pemerintahan itulah saya mengalami secara langsung keseluruhan dinamika politik kekuasaan, yang bagi Bapak saya, Bung Karno kesemuanya ditempatkan sebagai dedication of life bagi Tuhan, Bangsa, dan Negara Republik Indonesia. …saya mulai mengenal standar protokoler pengamanan dan dalam upaya itulah, saya mengenal yang namanya pengawal. Para pengawal itulah yang sejak kecil berada di sekitar saya. Mereka selalu dalam keadaan siaga, dan nonstop 24 jam menjaga keselamatan Presiden dan keluarga. Satuan pengawal itu dikenal dengan nama DKP, yang keanggotaanya berasal dari Mobrig” , sambut Mega (hal: xiii).

Buku “bunga rampai” itu, antara lain memuat karangan “Bapak Brimob M.Jasin di Mata Panglima Besar Soedirman”. Ternyata, Menhan Prabowo adalah pengagu Bapak Brimob M. Jasin, putra Bau-bau, Buton, Sulawesi Tenggara. “Beliau (M. Jasin, pen) sangat berpengaruh di lingkungan Polri. Dulu Bapak Jasin dan Polisi Istimewa berperan angat besar dalam pertempuran Surabaya, November 1945. Salah satu keberaniannya adalah menerobos desingan peluru musuh guna menghentikan tembak menembak,”  urai mantan Danjen Kopasus itu (hal: xix).     

Kepala BIN RI, Prof. Budi Gunawan melihat Korps Brimob adalah disalah satu aktor utama yang berperan dalam pengelolaan keamanan dalam negeri. Kehadirannya pada setiap episode perjalanan bangsa merupakan bukti eksistensi yang tidak terbantahkan. “Buku ini memberikan gambaran jelas ‘hulu – hilir’ dan perspektif historis Korps Brimob Polri sejak masa pra kemerdekaan hingga pengamanan KTT G20 di Bali pada November 2022…”, sambut Budi, alumni Akpol 1983 yang penulis kenal ketika  awal-awal karir di Polri (1986 – sebelum 1995) (hal: xxiii).

Sementara pimpinan tertinggi Polri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam sambutannya menyatakan, penyusun berhasil menjelaskan secara detil kiprah perjuangan, pengorbanan maupun berbagai ukiran prestasi Korps Brimob Polri, yang tentunya akan selalu dikenal dan menjadi teladan bagi generasi penerus Brimob dalam menjalankan tugas pengabdian. “Oleh karena itu, saya berharap buku ini dapat menambah khazanah pengetahuan serta menjadi sumber yang inspiratif bagi seluruh personel Brimob maupun berbagai lapisan masyarakat”, Sigit berharap (hal: xxvi).

Keras dan Getir

BUKU “Brimob Penerus Semangat Proklamator …”  telah dilucurkan. Penulis sempat ada rasa kehilangan semangat untuk tampil di acara peluncurannya. 

Kemudian baru muncul “keharusan dan keharuan” untuk menghadiri. Terutama, setelah seorang inspektur dua –utusan Dankor Brimob melalui seorang Komandan Resimen Brimob-- meminta hadir, serta dorongan kuat salah seorang anggota tim penulis yang tak lain istri penulis. Saat itu ia tengah terkapar lemah. Akhirnya, penulis jadi juga tampil di acara formal itu. Di balik terwujudnya naskah buku itu, memang ada secumpil catatan  sangat emosional. Menyangkut hati. 

Buku itu sengaja dirancang oleh Tim Penulis untuk menjemput 77 tahun Brimob 14 November 2022. Ini setelah “bergeser” dari sebelumnya, yaitu untuk menyambut kali pertama Korp Brimob naik kelas dari Tipe "B" ke "A". Dengan demikian,  Dankor Brimob bertanggung jawab langsung kepada Kapolri.

Ketika tengah menyelesaikan naskah utama dan naskah akhir, 5 Agustus 2022, Helsi Dinafitri Nusjirwan Badwi, salah seorang penulis yang istri penulis, terkena serangan stroke terberat dari lima kali yang telah dialaminya sejak September 2020. Yang selalu menghidup-hidupkan semangat penulis, adalah lantaran memori dan pikirannya tetap berfungsi baik. Dalam sakitnya, ia masih mampu menyediakan bahan bacaan dalam buku refernsi dan melakukan koreksi awal naskah.

Penulis bimbang. Maju- mundur untuk menuntaskan penulisan. Hilang-hilang timbul "benang merah" antara tema sentral dan isi substansi yang telah disusun sebelumnya. 

Setiap kali menghadapi PC dan mulai mengetik, baru selesai dua atau tiga paragraf, tetiba terhenti. Hati ini terasa ingin selalu berada di dekatnya mendengarkan ucapan-ucapannya yang menunjukkan kemauan keras untuk cepat sembuh. 

Dalam kondisi seperti itu, berkelebat bayangan wajah Ipda Suhardi. Perwira pertama Brimob ini selalu menunjukkan kemauan keras untuk belajar banyak, baik dalam  menggali bahan dari narasumber maupun menuliskannya. Beda dengan ketika ia berseragam Brimob. Sarjana hukum dan luluan S2 manajemen ini, banyak bertanya dan kritis.

Saking lelahnya, ketika penggalian bahan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng), demikan belakangan dia buka kartu, "Kalau bukan Pak Sur yang lebih berusia daripada saya, mungkin saya akan memilih tinggal di kamar saja."

Tak cuma itu, rasa berutang besar dan bersalah jika tak segera mewujudkan buku tersebut, ketika bemunculan dua wajah, Bharatu Marjohan, anggota Resimen II Kedunghalang Bogo, dan Bharatu Setian Rengga Danang Ratama, anggota  Satbrimob Polda Kalteng. 

Marjohan dan Setian selalu ceria dan bersemangat mengantarkan penulis ke narasumber-narasumber. Mereka selalu memerlihatkan sikap empati, terkesan ingin buku segera dapat diwujudkan. 

Marjohan mengantarkan penulis menelusuri jejak-jejak Brimob, selain di dalam dan pinggiran Kota Semarang, juga sampai ke Pati. Semarang adalah kota bersejarah dalam “Pertempuran 5 Hari” yang pada jejaknya tercium peran besar Mobrig di bawah pimpinan Kompol Suprapto. Ini terjadi setelah di Jakarta Bung Karno – Bung hatta (atas nama Bangsa Indonesia) memproklamasikan Kemerdekaan RI atau awal-awal RI merdeka.

Selama di Kalteng, Setian mengantarkan sampai ke sudut-sudut ujung Bumi Tambun Bunga. Juga, ke perbatasan Kalteng-Kalsel, antara lain untuk menjumpai Kiyai kharismatik Tuan Guru Danau di Danau Panggang,, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalsel.

Juga tebayang ketulusan Dankorbrimob Anang Revandoko dan wakilnya, IJP Drs. Setyo Boedi Moempoeni Harso, S.H., M.Hum, yang memberi kebebasan kepada penulis untuk berdiskusi dengan Karorenminops Brimob Brigjen Pol. Drs. Rudy Harianto, M.Si dan Kombes Pol Hendrik Budi  Prasetyo, S.I.K., M.Si., Kombes Rantau Isnur Eka,  Kombes Yustanto Mujiharso, dan Kombes Anang Sumpena. Selain juga dengan para Komandan Satuan, seperti Kombes Yopie Prasetya Sepang (Jateng), Kombes Suryo Sudarmadi (Kalteng), Kombes Iwan Sazali (Sulbar), dan Kombes Wahyu Wudiarso (Lampung). Semua memperkaya dan membangun perspektif penulis dalam penulisan.

Naskah buku itu digali dari para narasumber dan sejumlah referensi. Total waktu  delapan bulan sejak pertengahan Februari 2022 saat awal bertukar pikiran dengan Komjen Anang Revandoko. 

Penulis tambah terpacu menulis ketika pecah “Tragedi Duren Tiga” yang menewaskan Brigadir Joshua. Korban adalah anggota Brimob sebelum bertugas di Divisi Propam Polri. Penembaknya  pun seorang Bhayangkara terendah Brimob, Bharada Eliezer yang menjadi salah satu ajudan Kadiv Propam saat itu, IJP FS. Yang terakhir ini telah divonis mati oleh pengadilan tingkat pertama, PN Jakarta Selatan.

Dalam benak penulis, Eliezer adalah prajurit yang harus "Siap Laksanakan Jenderal" di setiap kali diperintah oleh atasan, apalagi atasannya itu seorang jenderal. Pinjam judul buku Ahus Widjojo “Tentara kok Mikir”, penulis kian terpacu menyelesaikan naskah buku demi sebuah perjalanan sejarah Brimob. Setidaknya, sampai sebelum 5 Agustus 2022 ketika Helsi mengalami serangan stroke terberatnya. Ia adalah sosok terkuat untuk berkuat-kuat menyelesaikan “Brimob Penerus Semangat Proklamator….”.  

Akhirnya, naskah buku tersebut lahir dari tangan keempat tim penulis dan telah pula diterbitkan. Buku itu terbagi atas tiga bagian. Dimulai dengan peran DKP bagi Keselamatan Presiden I dan keluarga; kemudian, dilanjutan antara lain oleh Perjalanan menuju Proklamasi Kemerdekaan RI yang menyemangati urgennya Pelantikan DPR  RI Pereiode 2019 – 2024 di tengah-tengah “pro-kontra keras” terkait hasil Pemilu 2019 di antara peserta Pilpres saat itu. 

Buku “Brimob Penerus Semangat Proklamator….”  selain memuat kepempinan Anang Revandoko ketika menjadi Kapolda Kalteng sebelum ia kembali ke Brimob sebagai  Dankor, juga menyajikan berbagai prestasi insan Brimob di bidang olah raga, hingga sukses penyelenggaraan KTT G20 Bali. 

Pada penutup buku, hadir karangan aktivis 1998 Dr. Usmar  bersama Suryadi dan Helsi Dinafitri yang mengangkat judul “Naik Kelas di Era Post Truth”.

Apa pun rangakian isi buku itu, seperti ketika mengantarkan peluncuran “Brimob Penerus Semangat Proklamator….”,  penulis melakukan otokritik, “Buku serupa ini, selalu perlu disempurnakan dan diperkaya di kemudian hari”. 

Memang, sebagai karya manusia tak ada buku yang sempurna. Maka, tak pula ada buku yang selesai ditulis. Setidaknya menurut penulis!**    E/ADI/JURNALISTIK

Spirit Keterwakilan Perempuan Dalam Lembaga Penyelenggara Pemilu

By On March 10, 2023

Oleh : Hibza Meiridha Badar, ST, SH, C.Me (Komisioner Komisi Informasi Provinsi Sumsel/Ketua Divisi Advokasi, Sosialisasi dan Edukasi/Ketua Pokja Apresiasi Desa 2022)


NASIONAL | Praktik kehidupan politik perempuan mengalami pasang surut. Dari aspek keterlibatan perempuan dalam dunia politik masih membutuhkan perjuangan dalam memperkuat eksistensi dan posisi di rana publik. Jika melihat grafik perkembangan perempuan di lembaga legislatif dan penyelenggara pemilu jumlahnya fluktuatif.

Data riset Pusat Kajian Politik (Puskapol ) FISIP Universitas Indonesia dalam kegiatan virtual She Leads Indonesia 2021, 27-30 September 2021, untuk tingkatan DPR RI anggota legislatif (aleg) secara angka tahun 2004 dari 550 kursi 11% Aleg perempuan, 2009 dari 560 kursi 18% Aleg perempuan , 2014 dari 560 kursi 17% Aleg perempuan dan 2019 dari 575 kursi 20% Aleg perempuan. Kesenjangan jumlah perempuan dan laki-laki di struktur penyelenggara pemilu timpang. Periode 2012-2017 di KPU RI dari 7 komisioner jumlah 6 laki-laki dan 1 perempuan dan Bawaslu RI 5 komisioner jumlah 4 laki-laki dan 1 perempuan. Periode berikutnya 2017-2022 jumlah perempuan tidak meningkat, menyisahkan satu komisioner.

Tahun keemasan keterlibatan perempuan di penyelenggara periode 2007-2012 di KPU RI dari 7 komisioner, 3 diantara perempuan dan Bawaslu periode 2008-2012 dari 5 komisioner, 3 diantara perempuan.

Pandangan penulis, kesenjangan politik perempuan tidak lepas dari sistem politik dan sistem pemilu dan karakteristik kelembagaan, perspektif gender di ruang kompetisi, produk hukum masih belum berkeadilan gender dan kemampuan manejerial mempersiapkan diri bertarung di ruang publik.

Penulis berpendapat, situasi ini tidak terlepas dari kurang keserataan perempuan di ruang kompetisi penyelenggara pemilu.


Optimis Keterwakilan Perempuan di Bawaslu dan KPU

Penulis optimis adanya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu di semua tingkatan.

Menurut penulis, diakomodirnya keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu membawa angin segar bagi kualitas demokrasi suatu negara yang lebih sehat.

Penulis yakin pada seleksi penyelenggara Pemilu, keterwakilan perempuan di Bawaslu dan KPU capai 30 persen bukanlah mimpi. Untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan, baik di pusat dan daerah, kita harus bekerja dan berjuang bersama-sama. Harap diingat bahwa tujuan jangka panjang kita bukanlah sekadar memenuhi target banyaknya jumlah perempuan, tetapi munculnya kebijakan-kebijakan, program, dan peraturan yang berperspektif gender, demi mewujudkan perempuan yang berdaya, menuju Indonesia maju.

Menurut penulis, semakin banyak perempuan yang berpartisipasi di lembaga legislatif, maka demokrasi di Indonesia akan semakin sehat.

Kesempatan keterwakilan perempuan di panggung politik sebagai penyelenggara pemilu di Indonesia cukup cerah bagi kaum perempuan untuk mengambil peran.

Oleh karenanya, penulis optimis keterwakilan perempuan di lembaga Bawaslu dan KPU akan diberikan. Khususnya penulis menyoroti lembaga Bawaslu Provinsi Sumsel, sampai hari ini belum pernah ada anggota Bawaslu-nya unsur perempuan, padahal amanat Undang-undang telah jelas memperhatikan keterwakilan 30 perempuan di dalamnya. Hal ini berbeda dengan KPU yang lebih terbuka memberikan kesempatan pada keterwakilan perempuan.

Penulis menambahkan, untuk mewujudkan hal tersebut, maka kelompok kelompok organisasi perempuan di Sumsel harus membuat Road Map pencapaian 30 persen keterwakilan perempuan di setiap penyelenggaraan pemilu .

Selain itu, penulis menegaskan ketika kita memiliki impian, komitmen, dan keyakinan, maka harus didukung dengan peta jalan dan aksi.

Spirit Political Will Gender

Dari aspek masalah di atas hendaknya menjadi catatan kritis. Perempuan tidak hanya sebagai penonton demokrasi tetapi juga penggerak demokrasi berkelanjutan.

Saat ini, konsolidasi gerakan perempuan secara kelembagaan terus berdenyut langkah politiknya. Spirit regenerasi dilakukan dalam tiga gerakan yakni peningkatan kualitas individu perempuan, pelatihan kelembagaan untuk persiapan pemimpin perempuan penyelenggara pemilu seperti dilakukan oleh Puskapol UI dan peningkatan political will afirmasi keterwakilan di parlemen untuk penguatan hak politik perempuan melalui produk perundang-undangan. (*)

Catatan Komisi Kejaksaan Atas Public Trust Kejaksaan

By On March 04, 2023

Jakarta - Memasuki triwulan Tahun 2023, Lembaga Survey Indonesia (LSI) lewat surveinya menempatkan Kejaksaan RI kembali peroleh kepercayaan sebagai lembaga negara dibidang hukum yang dinilai mampu menegakkan supremasi hukum dan menuntaskan kasus-kasus korupsi.

Tentu saja ini sebagai motivasi bagi jajaran korps Adhyaksa untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Setiap satuan kerja di seluruh bidang dari Sabang sampai Merauke harus mampu merawat kepercayaan masyarakat tadi. Perlu mawas diri, jangan sampai menodai Publict Trus ini.

Saya menilai bahwa capaian positif yang mendorong tingginya kepercayaan publik atas institusi Kejaksaan antara lain, pelaksanaan kewenangan yang langsung menjawab isu penting negara sesuai arahan Presiden yang oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin dan jajarannya menerjemahkan dengan konkrit, tidak basa basi, tegas konsisten dan langsung menohok ke inti masalah.

Pertanggungjawaban hukum pejabat setingkat top manajemen tidak hanya sekadar operator. Hal ini dipandang masyarakat adalah wujud hadirnya negara dan implementasi perintah Presiden  dalam masalah-masalah perekonomian negara dan program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Penegakan hukum bidang korupsi,  misalnya kelangkaan  Minyak Goreng (mafia minyak goreng/ sawit), Asabri dan Jiwasraya, penanganan kasus Mafia Pupuk yang tengah diusut oleh JAM Pidsus. Hal ini tentunya  menjawab kelangkaan pupuk subsidi di tingkat petani dan dikaitkan dengan kebijakan produksi dan distribusi pupuk oleh Jajaran kementerian Pertanian.

Selanjutnya, penanganan kasus BUMN bermasalah, perkara korupsi maskapai PT Garuda, proyek pembangunan Base Tranceiver Station (BTS) tahun 2020-2022  oleh Kementrian Kominfo dan tentunya juga di Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri, satker di derah berkomitmen menegakkan supremasi hukum dalam pemberantasan korupsi.

Penerapan Restoratif Justice yang dipimpin langsung oleh JAM Pidum Fadil Zumhana, serta hadirnya Rumah restoratif Justice di daerah mendapat respon positif dari masyarakat, khususnya pencari keadilan.

Penegakan hukum humanis Kejaksaan dalam penerapan Keadilan Restoratif merupakan bentuk kepedulian institusi Adhyaksa dalam merawat harmonisasi, silaturahmi dan kesadaran hukum di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Penerapan sistem MERIT di Bidang Pembinaan (JAM BIN) yaitu sistem manajemen SDM berdasar Kualifikasi, Kompetensi dan Kinerja sebagai pertimbangan dalam rekrutmen, pengembangan, promosi dan hal lain dalam lingkup pembinaan.Hal ini sangat signifikan mendorong internal trust institusi Kejaksaan yang akan bergerak kompak meningkatkan public trust. 

Dalam kaitan itu ke depan sebagai respon terhadap tingginya apresiasi publik atas kinerja Kejaksaan ini, kami melihat hal-hal yang perlu dikerjakan antara lain,  kebutuhan regulasi organik yaitu lahirnya Peraturan Pemerintah mengatur Manajeman Kejaksaan sebagaimana amanah Pasal 9B UU No.11 Tahun 2021 ttg Perubahan UU No.16 Thn 2004 tentang Kejaksaan RI. 

Pada Pasal 9B, Penyusunan , penetapan kebutuhan, dan pengadaan calon Jaksa,pangkat dan jabatan pengembangan karir, pola karir dan promosi,mutasi penilaian kinerja, kedisiplinandan pengawasan untuk jaksa dilakukan secara terbuka,profesional dan akuntabel berdasar Kualifikasi, Kompetensi dan Kinerja secara adil dan wajar. 

Adanya kebutuhan regulasi sebagai untuk optimalisasi Lembaga Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum dan single prosecution yaitu RUU KUHAP dalam rangka supervisi semua tindak pidana serta UU Perampasan Aset dan perlindungan profesi jaksa yang perlu disesuaikan dengan  standart International asosiasi profesi Jaksa (IAP).

Dipenghujung tulisan ini, saya selaku Ketua Komisi Kejaksaan RI memberikan selamat kepada seluruh insan Adhyaksa atas capain kinerja selama ini yang diapresiasi berbagai elemen masyarakat, baik itu lembaga akademisi, politisi, media dan juga lembaga survei. (Penulis adalah Ketua Komisi Kejaksaan RI)

Hati Nurani dan Humanitas, Keadialan Substantif Penegakan Hukum Kejaksaan

By On February 26, 2023

Oleh: DR Barita Simanjuntak, SH. MH, CfrA



Jakarta - Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan adanya perubahan paradigma penegakkan hukum dari formalistik kepada keadilan hukum substantif. Pelaksanaan kekuasaan Negara di bidang penuntutan, Kejaksaan berwenang untuk dapat menentukan suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan dan memiliki arti penting dalam menyeimbangkan antara aturan yang berlaku serta interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan dalam proses peradilan pidana.

Jaksa Agung Burhanuddin yang mengatakan bahwa, dibutuhkan keadilan substantif dalam penegakan hukum seperti apa seharusnya Jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan? Keadilan substantif tentunya menjadi tujuan dan inti penegakan hukum. Keadilan substantif akan menyeimbangkan antara kepastian hukum dan kemanfaatan. 

Kepastian hukum adalah ciri khas norma hukum dan kemanfaatan adalah ciri khas peranan hukum dalam masyarakat. Keduanya diseimbangkan yang namanya Keadilan Substantif. Sehingga penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakkan hukum yang dapat menyeimbangkan antara kepastian hukum dan manfaatnya bagi masyarakat.

Untuk apa hukum yang pasti tetapi tidak bermanfaat bagi masyarakat,  sebaliknya kalau hanya menekankan segi manfaat saja bagi masyarakat maka penegakan hukum akan sangat pragmatis bergerak liar tanpa arah  dan akan ikut arus opini mayoritas. 

Hal inilah yang wajib dijaga oleh Jaksa. Pada satu sisi penegakan hukum sesuai tugas kewenangan jaksa haruslah tegas, konsisten, berani, akuntabel dan profesional namun sisi lain aspek manfaatnya, sisi humanitasnya mesti diperhitungkan dengan cermat. Apalagi dalam dinamika hukum modern, partisipasi  masyarakat atau publik sangat dominan lewat opini, jajak pendapat maupun survey.

Kewenangan Jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan (prosecutorial discretion), dilakukan dengan mempertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, etika, dan keadilan dalam masyarakat. Hal ini memiliki arti penting dalam rangka mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat, serta menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang diterima oleh masyarakat.

Oleh sebab itu diskresi penuntutan atas dasar keadilan substantif yang dicanangkan dan direkonstruksi dengan baik oleh Jaksa Agung Burhanuddin akan mampu memetakan dalam situasi tertentu, apabila keseimbangan antara keadilan, kepastian dan kemanfaatan agak sulit dilakukan maka diskresi penuntutan yang berkeadilan akan mampu menentukan kapan aspek kepastian lebih diutamakan. Sehingga aspek kemanfaatanlah yang harus diutamakan dengan Pedang Keadilan Adhyaksa Satya Adhy Wicaksana berdasarkan hati nurani dan humanis.

Sehingga Jaksa Agung sering mengimbau para Jaksa untuk menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum.  Hal tersebut mendasari bahwa keadilan formalistik yang dibelenggu aturan bersifat kaku demi mengejar kepastian hukum tidak lagi dapat dipertahankan. Namun di era saat ini, sudah berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan rasa keadilan dalam masyarakat yang disebut dengan keadilan substantif. (K3R/red)

Memaknai Politik Identitas

By On February 18, 2023

Agnes Heller seorang filsuf dan dosen dari Hongaria mengatakan bahwa, Politik identitas adalah gerakan politik yang fokus perhatiannya pada 'Perbedaan' sebagai satu kategori politik utama". Politik identitas muncul atas kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas yang partikular, baik dalam bentuk relasi seksual, maupun dalam identitas primordial etnik dan agama.

Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok, seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, baik sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut. Dengan melakukan sosialisasi dan interaksi yang berkesinambungan, target yang dinginkan adalah untuk mendapatkan legitimasi serta pengakuan sosial yang luas dari masyarakat. Tujuan akhirnya, politik identitas akan memunculkan sifat superior bagi satu kelompok terhadap kelompok lainnya.

Strategi implementasi Politik identitas dilakukan dengan cara mengemas sedemikian rupa untuk mendorong keberpihakan publik kepada seseorang/kelompok/komunitas, tanpa memperhatikan kapasitas dan kualitas kecerdasan dari yang ditawarkan untuk menjadi pilihan keberpihakan itu. 

Hal ini dilakukan karena Politik identitas itu hakekatnya selain untuk menggalang kekuatan melawan hegemoni politik atau dominasi kelas sosial di luar kelompok mereka, juga tentunya dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempertahankan kepentingan status quo, tentu saja dengan cara memanipulasi identitas dan taget politik yang sebenarnya.


Politik Identitas di Indonesia

Wajah politik identitas yang hadir ke permukaan yang ikut meramaikan dan mewarnai sejarah politik Indonesia di era reformasi, antara lain adalah agama.

Dalam konteks umat islam, dari perspektif perjalanan sejarah, agama dan politik adalah sepasang identitas yang sulit untuk dipisahkan. Upaya represif rezim orde baru yang menekan islam politik dan mendukung gerakan islam spritual dan kultural, tetap tidak bisa menghilangkan bahwa masih banyak umat muslim yang masih tetap percaya bahwa Islam adalah agama dan sekaligus negara dengan berbagai alasan penyebab yang membuat kepercayaan ideologis ini tetap eksis.

Revitalisasi Islam politik di Indonesia menemukan ruang ekspresinya di awal tahun 1990-an, sebagai dampak bertemunya perkembangan geopolitik global dengan dinamika politik domestik yang sedang terjadi.

Munculnya gerakan rakyat yang memadukan sentimen agama dalam bentuk-bentuk mobilisasi politik yang bersifat massal dan kolosal dengan aktor utamanya generasi yang berkarakteristik kompetisi bukan kolaborasi, menjadikan kekuatan politik islam itu tidak terbangun dalam satu agenda bersama untuk mensinergikan kepercayaan ideologis yang ingin diperjuangkan dan ini adalah konsekuensi dari heterogenitas internal di kalangan umat islam politik itu sendiri.

Berlakunya konsepsi desentralisasi otonomi daerah di era reformasi dalam kebijakan mengelola negara, yang ditandai dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan tujuannya secara konseptual, pelaksanaan otonomi tersebut dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi; tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi.

Namun dampak ikutan dari konsepsi otonomi daerah ini telah mendorong terjadinya perubahan gerakan dalam menegakkan syariat islam yang semula fokus pada upaya mengubah dasar negara dan sistem pemerintahan, menjadi gerakan daerah dengan instrumen mewarnai berbagai peraturan daerah yang lebih kental bobot syariat islamnya yang kemudian sering disebut dan dikenal dengan istilah Perda syariah sebagai ekspresi islam politik.

Bermunculan secara massif perda syariah ini, seolah mengobati keinginan dan kerinduan terhadap otentisitas keagamaan, selain tentunya untuk menggalang solidaritas identitas. Maraknya hal seperti ini harus dicermati dengan seksama, jika tidak terkendalikan justru akan kontra produktif dalam menjaga lanskape bersama kebangsaan dalam bingkai negara kesatuan republik indonesia.

Transformasi yang sangat panjang dalam perjalanan perkembangan islam di Indonesia, yang telah berkelindan dan diwarnai oleh kultur yang ada di bumi pertiwi ini, tidak mau dipahami dan dimengerti oleh sebagian kelompok islam politik.

Padahal itu adalah keniscayaan yang merupakan refleksi dari perjalanan politik sebuah negara tempat kaum Muslim itu hidup. Inilah konsekuensi demokrasi, jalan yang telah kita pilih bersama sebagai sebuah bangsa, dimana jalan demokrasi adalah sebuah jalan yang bisa dilewati siapa saja, dari yang berakal sampai yang bebal.


Mengapa Politik Identitas Digunakan

Filsuf Inggris Francis Bacon mengatakan bahwa “Pemujaan terhadap kelompok etnis mempunyai dasar di dalam sifat manusia sendiri, dan di dalam rumpun atau suku bangsa”. Dengan mengeksploitasi sikap konservatif yang tersembunyi di alam bawah sadar publik, dan menyampaikan berulang-ulang narasi kecemasan bahwa dalam kehidupan ini selalu sarat perasaan tidak aman dan penuh ancaman.

seperti misalnya saat ini di ranah politik yang diviralkan di sosial media, dengan menggunakan istilah asing dan aseng yang berupaya menguasai sumber daya negara, dan disisi lain membangun pesona publik atas suatu ide dengan mengaburkan sikap kritis dan akal sehat publik, maka orang cenderung mempertahankan wajah yang familier dengan ritual yang sama sebagai sebuah komunitas yang nyaman.


Bahaya Politik Identitas

Ketika gendang politik identitas dimainkan, di tengah keberadaan suku bangsa kita yang sangat beragam secara takdirnya itu, maka sangat berbahaya. Untuk merekatkan kembali kohesi sosial yang robek dan terluka adalah suatu pekerjaan yang sangat-sangat sulit. 

Kita dapat belajar dari sejarah bangsa lain, misal konflik suku Tutsi dan suku Hutu di Rwanda Afrika tahun 1994. Ketika konflik politik identitas digerakkan, maka Suku Hutu sebagai suku mayoritas tidak hanya membunuh suku Tutsi yang minoritas, tetapi juga membunuh orang suku Hutu sendiri yang moderat, dengan estimasi korban mencapai ratusan ribu jiwa.

Atau kita juga bisa belajar dari peristiwa perang sipil di Srilanka antara suku Sinhala yang mayoritas beragama Budha, dengan suku Tamil minoritas yang beragama Hindu, kendati sebenarnya kedua etnik tersebut sama-sama berasal dari India, tetapi ketika gendang politik identitas ditabuhkan, maka dimulai sudah embrio tarian kebencian yang dimainkan. Perlu menjadi catatan dan pembelajaran kita bahwa perang sipil ini berlangsung hingga lebih dari 25 tahun, dengan jumlah korban mencapai puluhan ribu orang dari kedua suku tersebut.

Jadi menarasikan istilah politik identitas bukanlah suatu hal yang sepele, apalagi jika hal ini dilakukan hanya berbasis syahwat berkuasa semata, dan gagal menghitung dan mengkalkulasi dampak buruk yang akan ditimbulkannya.


Politik Negara

Untuk mengatasi penetrasi politik identitas, maka yang harus kuat adalah Politik Negara. Tindakan negara dalam merespon kegiatan suatu kelompok masyarakat yang meminggirkan peraturan dan ketentuan yang berlaku, haruslah dilihat dan dipahami sebagai sebuah langkah preventif atas gerakan yang dapat mengganggu kestabilan sosial. Negara haruslah menjamin dan memastikan bahwa dinamika kehidupan bangsa tetap dalam batas garis kontur konsensus nasional yang telah disepakati bangsa ini,

Karena itu, Jika berbagai gerakan dan manuver politik yang digunakan berbasis politik identitas dianggap sudah mendekati garis yang akan mengancam keutuhan negara, maka negara harus memberikan peringatan keras, sebelum terlanjur merobek persatuan.

Sehingga hal yang perlu dilakukan negara adalah mampu mengorganissir berbagai instrumen kekuasan yang dimiliki untuk dapat mengeliminir berbagai potensi yang akan mengancam kestabilan sosial yang dilakukan oleh orang dan atau oleh sekelompok orang warga masyarakat. Upaya preventif yang dilakukan haruslah dari awal saat potensi itu baru berupa isue dan putik dari tindakan orang dan atau sekelompok orang.

Disinilah peran intelijen yang cerdas, peka dan elegan, harus mampu memotret sekecil apapun riak-riak yang berpotensi merusak tatanan kestabilan sosial yang ada. Dengan demikian aktivitas pengelolaan negara sebagaimana idealnya negara demokrasi dan pemerintahan sipil dapat berjalan dengan baik. 

Penulis: Dekan Fakultas Ekonomi Univ. Moestopo (Beragama), Jakarta dan Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional

PERHITUNGAN PEROLEHAN SUARA PILEG 2024

By On February 12, 2023

Oleh: Dr. Usmar. SE, MM



NUANSA Pemilu dengan segala dinamikanya sudah mulai terasa saat ini. Apalagi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 6 Februari 2023 resmi mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Per-KPU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Daerah Pemilihan Dan Alokasi Kursi Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Tentu, selain wajah-wajah lama yang akan ikut kontestasi Politik di tahun 2024, dapat kita pastikan banyak juga wajah-wajah baru atau peserta baru yang akan ikut kontestasi politik. Ini terutama untuk Pemilihan Legislatif (PILEG), baik untuk tingkat Pusat, Provinsi ataupun Kabupaten/Kota.

Di antara para wajah-wajah baru Calon Legislatif itu, mungkin ada yang tidak mengetahui atau belum begitu memahami metode dan proses perhitungan suara Pemilu yang digunakan dalam Pileg 2024 nanti.  

Seperti kita ketahui bersama, dalam Pemilu tahun 2014 metode yang kita gunakan dalam menghitung perolehan kursi adalah menggunakan *METODE Bilangan Pembagi Pemilih (Metode BPP)*, yaitu dengan cara Total Jumlah Pemilih di suatu Daerah Pemilihan (Dapil) dibagi jumlah Kursi yang tersedia di daerah pemilihan (Dapil) tersebut, itulah harga satu kursi. Misalnya di suatu dapil jumlah Pemilih ada 800 ribu suara yang Sah, dan Kursi yang diperebutkan ada 8 kursi, maka harga satu kursi adalah 100 ribu suara. Baru nanti setelah dibagi masih ada kursi yg tersisa, selanjutnya baru di hitung berdasarkan perolehan suara sisa yang terbanyak. 

Sedangkan pada Pemilu 2019 lalu, untuk PILEG menggunakan metode perhitungan *Teknik SAINTE LAGUE*, sesuai dengan ketentuan sebagaimana tercantum pada pasal 415 ayat 2 Undang-undang No.7 Tahun 2017, dimana berbunyi, bahwa setiap partai politik yang memenuhi ambang batas akan dibagi dengan bilangan pembagi 1 yang diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3,5, 7 dan seterusnya. 

Untuk Pileg 2024 nanti, kemungkinan tetap menggunakan metode *Teknik Sainte Lague*, mengingat UU No.7 tahun 2017 yang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor l Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas undang-undang No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tertanggal 12 Desember 2022 sebagai payung hukumnya tidak ada perubahan dimaksud.


METODE TEKNIK SAINTE LAGUE

Teknik SAINTE LAGUE ini di temukan oleh Seorang ahli Matematika asal PERANCIS pada tahun 1910. yaitu Prof Andre Sainte Lague (1882-1950). Metode ini dengan berbagai variannya banyak di gunakan di negara-negara Skandinavia, maka metode ini sering juga disebut orang Metode Skandinavia.

Metode ini menggunakan angka Pembagi ganjil, yaitu : 1, 3, 5, 7 dstnya.

Sebagai contoh dapat kita lihat pada Perhitungan, seperti berikut ini :

MISALNYA dalam satu dapil ada alokasi 8 kursi yang diperebutkan, adapun rincian Perolehan Suara masing-masing Partai Politik adalah sbb : 

1. Partai A meraih 35.000 suara

2. Partai B meraih 20.000 suara

3. Partai C meraih 14.000 suara

4. Partai D meraih 12.000 suara.

5. Partai E meraih   5.100 suara.


Kursi Pertama didapat dengan pembagian 1

1. Partai  A  35.000 /1 = 35.000.

2. Partai  B  20.000 /1 = 20.000

3. Partai  C 14.000 /1 = 14.000

4. Partai  D 12.000 /1 = 12.000

5. Partai  E   5.100 /1  =   5.100

Jadi kursi pertama adalah milik partai A dengan 35.000 suara. (Jumlah terbanyak)

Untuk Kursi ke 2

Dikarenakan Partai A tadi sudah menang di pembagian 1.

Maka berikutnya Partai A  akan menggunakan angka pembagi 3, sedangkan Partai yang lain masih menggunakan angka pembagi 1.


Adapun Perhitungan kursi ke-2 sbb:

1. Partai A 35.000 /3 = 11,666

2. Partai B 20.000 /1 = 20.000

3. Partai C 14.000 /1 = 14.000,

4. Partai D 12.000 /1 = 12.000

5. Partai E   5.100 /1 =   5.100

Maka kursi ke 2 adalah milik partai B dengan 20.000 suara.


Untuk Kursi ke 3

Partai A dan partai B telah mendapatkan kursi dengan angka pembagi 1, maka selanjutnya Partai A dan Partai B, menggunakan angka pembagi 3, sedangkan suara partai C, Partai D dan dan Partai E masih dengan angka pembagi 1.


Maka perhitungan kursi ke 3 adalah, sbb:

1. Partai A 35.000 /3 = 11.666.

2. Partai B 20.000 /3 =  6.666,

3. Partai C 14.000 /1 = 14.000

4. Partai D 12.000 /1 = 12.000

5. Partai E   5.100 /1 =   5.100

Jadi Kursi ke 3 milik partai C dengan 14.000 suara.

Untuk Kursi ke 4, 

Partai A , Partai B dan Partai C telah mendapat kursi dengan angka pembagi 1, maka selanjutnya partai A, B, dan Partai C akan masuk dengan menggunakan angka pembagi 3, yaitu :

1. Partai A 35.000 /3 = 11.666

2. Partai B 20.000 /3 =   6.666

3. Partai C 14.000 /3 =   4.666

4. Partai D  12.000 /1 = 12.000

5. Partai E    5.100 /1 =   5.100

Maka kursi ke 4 adalah milik D dengan 12.000 suara.

Untuk Kursi ke 5,

Partai A, Partai B, Partai C dan Partai D telah mendapat kursi dengan berdasar angka pembagi 1, selanjutnya meraka akan masuk menggunakan angka  pembagi 3

Adapun Penghitungan kursi ke 5 adalah, sbb:

1. Partai A 35.000 /3 = 11.666.

2. Partai B 20.000 /3 =   6.666

3. Partai C 14.000 /3 =   4.666

4. Partai D  12.000 /3 =  4.000

5. Partai  E   5.100 /1 =  5.100

Maka partai A mendapatkan kursi ke 5 dengan 11.666 suara.


Untuk Kursi ke 6 

Partai A sudah mendapat kursi hasil angka pembagi suara 1 dan 3, maka selanjutnya Partai A akan menggunakan angka pembagi 5, sedangkan Partai B, PartaiC dan Partai D menggunakan angka pembagi 3, sedangkan Partai E masih pada angka pembagi 1.

A dibagi 5. B,C dan D dibagi 3, dan E masih dibagi 1.

1. Partai A 35.000 /5 = 7.000.

2. Partai B 20.000 /3 = 6.666.

3. Partai C 14.000 /3 = 4.666

4. Partai D 12.000 /3 = 4.000

5. Partai E  5.100 /1  = 5.100

Disini A kembali mendapat kursi,karena suaranya ada 7.000.

Untuk Kursi ke 7

Partai A sudah mendapat kursi hasil dengan angka pembagi suara 1,3, dan 5 maka selanjutnya Partai A akan menggunakan angka pembagi 7, sedangkan Partai B, Partai C dan Paertai D menggunakan angka pembagi 3, sementara Partai E masih menggunakan angka pembagi 1.

1. Partai A 35.000 /7 = 5.000.

2. Partai B 20.000 /3 = 6.666.

3. Partai C 14.000 /3 = 4.666

4. Partai D 12.000 /3  = 4.000

5. Partai E   5.100 /1 =  5.100

Disini Partai B kembali mendapat kursi,karena suaranya adalah yang tertinggi yaitu sebanyak  6.666 suara.

Untuk Kursi terakhir ke 8, 

Partai A sudah mendapat kursi hasil dari angka pembagi suara 1, 3, dan 5 maka selanjutnya Partai A akan menggunakan angka pembagi 7, sedangkan Partai B sudah mendapat kursi hasil dari angka pembagi suara 1, dan 3, maka selanjutnya partai B akan menggunakan angka pembagi 5, sedangkan Partai C dan Partai D menggunakan angka pembagi 3, sementara Partai E masih menggunakan angka  Pembagi 1.

Maka perhitungan kursi ke 8 adalah:

1. Partai  A 35.000 /7 = 5.000

2. Partai  B 20.000 /5 = 4.000.

3. Partai  C 14.000 /3 = 4.666

4. Partai  D 12.000 /3 = 4.000

5. Partai  E   5.100 /1 = 5.100

Maka partai E mendapat kursi terakhir dengan 5.100 suara.


JADI TOTAL PEROLEHAN Kursi masing-masing Partai adalah sbb:

1. Partai A meraih  3  Kursi 

3. Partai B meraih  2  Kursi  

3. Partai C meraih  1  Kursi 

4. Partai D meraih  1  Kursi

5. Partai E meraih  1  Kursi. (**)


Penulis: DEKAN Fakultas. Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo (Beragama), Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional

MENYOAL NAIKNYA ONGKOS NAIK HAJI

By On February 10, 2023

Oleh : Dr. Usmar, SE, MM


Bertemunya antara semangat yang kuat untuk menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu Naik Haji yang Wajib hukumnya untuk dilaksanakan bagi orang Islam yang sudah mampu, dengan kemajuan ekonomi masyarakat yang semakin membaik, menyebabkan meningkatnya jumlah jamaah calon haji di Indonesia.

Disisi  lain jumlah kuota kuota yang diterima dari Kerajaan Arab Saudi yang sejak tahun 2017 masih berkisar antara 220.000 sampai 221.000 orang jamah per tahun, berdampak pada konsekuensi waktu tunggu antrian yang sangat lama bagi jamaah haji regular Indonesia yang mau menunaikan rukun Islam yang kelima tersebut.

Jika calon jamah haji mendaftar saat ini, maka untuk bisa berangkat harus menunggu dalam waktu yang sangat Panjang. Dan untuk setiap daerah di Indonesia berbeda waktu tunggu antriannya,  contoh seperti di bawah ini:

- Jakarta masa tunggu keberangkatan setidaknya 25 tahun, 

- Kalimantan Selatan 36 Tahun  

- Jawa Timur 32 Tahun

- Nusa Tenggara Barat 34 Tahun

- Aceh 31 Tahun 


Sehingga pada titik posisi tingginya semangat religiusitas masyarakat untuk berhaji dan membaiknya ekonomi masyarakat dengan terbatasnya kuota yang di peroleh Indonesia, seakan terjadilah hukum ekonomi *Supply-Demand* untuk beribadah.

Seperti kita ketahui, ramainya pemberitaan bahwa Kementerian Agama (Kemenag) mengusulan rencana kenaikan *Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH)* tahun 2023  naik sekitar 75 persen, dimana BPIH pada tahun 2022 sebesar Rp.39,8 juta  menjadi Rp.69 juta per Jemaah untuk tahun 2023, menjadi polemik di masyarakat.

Merespon kenaikan BPIH untuk tahun 2023 yang cukup signifikan ini, banyak masyarakat yang berencana menyatakan mundur atau menunda keberangkatannya berangkat haji di tahun 2023 ini, karena besarnya tambahan BPIH yang harus mereka sediakan di luar prediksi kemampuannya.


MEKANISME MENENTUKAN BPIH

Besarnya BPIH yang di bebankan kepada masyarakat sebenarnya sudah termasuk subsidi yang diberikan dari nilai manfaat pengelolaan dana haji oleh 'Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)'.

Adapun total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2022 mencapai sebesar Rp.98.379.021,09, dan dari jumlah tersebut ditanggung jamaah sebesar Rp.39.886.009,00 atau sekitar 40,54 persen dan subsidi dari nilai manfaat pengelolaan dana haji oleh BPKH sebesar Rp.58.493.012,09 atau sekitar 59,46 persen.

Sedangkan untuk tahun haji di tahun 2023 ini total Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp.98,89 juta. Namun dengan rencana kenaikan BPIH yang ditanggung Jamaah sebesar Rp.69,19 juta, ini berarti calon jamaah menanggung sekitar 70 persen dari Total BPIH, dan sisanya sebesar Rp.29,7 Juta atau          sekitar  30 persen diberikan subsidi dari nilai manfaat pengelolaan dana haji yang dikelola BPKH. 

Melihat besaran komposisi BPIH di atas, yang semula pada tahun 2022 Subsidi dari nilai pengelolaan dana haji oleh BPKH diberikan sebesar sekitar 70 persen dari Total BPIH, dan di tahun 2023 ini hanya sebesar 30 persen, artinya terjadi penurunan subsidi dari BPKH sebesar sekitar 30 persen, sehingga wajar kalau kemudian timbul pertanyaan di masyarakat, bagaimana soal efektivitas dan efisiensi pengelolaan nilai manfaat dana haji selama ini oleh BPKH.  


APA ITU BADAN PENGELOLA KEUANGAN HAJI (BPKH)

Dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada 29 September 2014 lalu, telah menyetujui dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH). Selanjutnya Undang-undang tersebut ditandatangani pemerintah dan efektif berlaku mulai tanggal 17 Oktober 2014.


Tujuan dibentuknya BPKH adalah untuk meningkatkan tiga hal, yaitu :

a. Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji; 

b. Rasionalitas dan efisisiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH);  

c. Manfaat bagi kemaslahatan ummat Islam. 

Adapun akumulasi dana setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) pada 2014 mencapai Rp73,79 triliun. Dan pada tahun 2023 menurut BPKH dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja BPIH 2023 di Komisi VIII DPR, mengungkapkan bahwa total dana haji yang dikelola hingga Desember 2022 sebanyak Rp167 triliun.

Menurut UU 34 Tahun 2014, di Pasal 20 Ayat 4 tentang Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH), bahwa Pengelolaan Keuangan Haji dilakukan oleh BPKH yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden, dan dilakukan secara korporatif dan nirlaba.


Adapun keuangan haji meliputi: 

a. Penerimaan yang meliputi: setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus, nilai manfaat Keuangan Haji, dana efisiensi Penyelenggaraan Ibadah Haji, Dana Alokasi Umum (DAU), dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat: 

b. Pengeluaran (meliputi penyelenggaraan Ibadah Haji, operasional BPKH, penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji, dsb); dan 

c. Kekayaan


Wewenang BPKH adalah: 

a. Menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat;  

b. Melakukan kerjasama dengan lembaga lain dalam rangka pengelolaan Keuangan Haji.

Sedangkan Kewajiban BPKH, di antaranya adalah: 

  • Mengelola Keuangan Haji secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kepentingan Jemaah Haji dan kemaslahatan Umat Islam; 
  • Memberikan informasi melalui media mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya secara berkala setiap 6 (enam) bulan; 
  • Melaporkan pelaksanaan Keuangan Haji, secara berkala setiap 6 (enam) bukan kepada Menteri Agama dan DPR; dan d. Membayar nilai manfaat setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus secara berkala ke rekening virtual setiap Jemaah Haji.

Nah, untuk menyikapi besarnya kenaikan BPIH ini, masyarakat dapat memonitor apakah kinerja dari BPKH yang ditugaskan mengelola dana haji masyarakat sudah on the track sesuai Amanah Undang-undang.

Dan BPKH sendiri juga harus menjelaskan kepada masyarakat, mengapa terjadi penurunan besaran subsidi yang diberikan kepada masyarakat untuk BPIH tahun 2023 ini. Sehingga tidak menjadi tuduhan liar yang sulit di mengerti. Karena memang secara teori, jika masyarakat tidak memperoleh informasi, maka opini yang akan berkembang akan berdasarkan asumsi yang mereka miliki.

BERHARAP DARI REFORMASI EKONOMI ARAB SAUDI

Dengan telah disahkannya Draft reformasi ekonomi yang diberi nama Visi 2030 oleh kabinet negara Arab Saudi, yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan kapasitas haji menjadi 30 juta jemaah setiap tahun dan menghasilkan sebanyak 50 miliar riyal (13,32 miliar dollar) pendapatan pada tahun 2030. Sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi dari pendapatan minyak yang selama ini mencapai 87 persen.

Sehingga kemungkinan bertambahnya jatah Kuota jamaah Haji untuk Indonesia, tentu akan meningkat juga, sehingga dapat mengurangi panjangnya antrian dan lamanya masa tunggu jamaah yang mau menunaikan ibadah haji tersebut.


*Penulis: DEKAN Fakultas. Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo (Beragama), Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional.

HARNO, BERJUALAN UDUK BERI PELAJARAN BERHARGA UNTUK IKHLAS

By On February 08, 2023


Catatan "SURYADI' dari Pojok Luar Tembok RSUD Pasar Rebo, Jaktim


Jakarta - LAKI-laki itu bukan santri, apalagi ustadz berilmu agama tinggi atau orator yang melalui pekiknya mampu bangkitkan emosi dan gerak massa.

Ia Suharno, usia 40-an tahun, penjual nasi uduk dan nasi kuning di tikungan lorong luar tembok belakang RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Pelajaran mahal ia berikan kepada siapa pun. Bukan lewat omongan, melainkan tindakan nyata. 

"Kalau Jumat besok (10/2/23) lebih pagi ya Pak. Sebab, jam 7 kami sudah tutup," kata Suharno. Kok?

Rupanya, setiap Jumat, dia menggratiskan kepada setiap pengunjung yang makan di tempat. Bagi pembeli yang membungkus cuma dia kenakan Rp3.000,-



Di hari-hari biasa, pengunjung makan di tempat cukup bayar Rp7.000 untuk sepiring nasi uduk atau nasi kuning. Ini sudah termasuk sebungkus kecil kerupuk dan sepotong  goreng-gorengan, seperti bakwan atau tahu isi (tahu bunting)

Dengan caramu ini, apa yak kau cari Suharno? "Tidak cari apa-apa Pak. Saya cuma cari ridla Allah agar saya kuat hidup mandiri," kata Suharno.

***

SUHARNO tinggal di Kawasan belakang RSUD Pasar Rebo sudah sejak tahun 2000. "Selepas berjualan, saya bekerja pada orang lain," ungkap Harno.

Sejak lima tahun lalu, ia berjualan nasi uduk dan nasi kuning berikut berbagai goreng-gorengan olahan sang istri

"Alhamdulillah, saya punya anak dua orang, satu ikut Mbahnya di kampung," kata Harno

Seorang lagi? Yang sulung sekarang sudah smester 6 Manajemen Logistik FEB UNDIP. "Di Semarang, Pak," kata Harno optimis  tentang masa depan anak-anaknya.

DI Ibu Kota Negara, Jakarta, yang dari hari ke hari diwarnai hidup berkalkulasi dengan angka-angka untung - rugi ini, ketika menemukan sosok serupa Suharno, terasa hilang dahaga bak kafilah yang tengah kehausan menemukan oase di padang pasir nan serasa tak bertepi.

Di Jakarta, mungkin bukan cuma Suharno, orang kelas bawah, yang berlaku rendah hati dan bermurah hati

Adalah pasti dari orang-orang seperti Suharno, entah disadari atau tidak, akan lebih banyak orang belajar ilmu yang begitu tinggi: 'Ikhlas'.

Tulisan ini, memang membicarakan Suharno dengan aktivitas sosialnya. Tetapi, Suharno, cuma ngobrol "selewatan" di belakang tembok RSUD Pasar Rebo.

Ia berucap cuma sepotong-sepotong selintas. Tak tahu, dia bakal ditulis seperti ini. Ia tidak riya' . 

Dia orang kecil, tempat kepadanya banyak orang belajar ikhlas.***

Menyoal Syahwat Berkuasa Kepala Desa

By On January 30, 2023

Oleh. Dr. USMAR. S.E.,M.M


DESA sebuah kata yang dapat dimaknai sebagai sebuah agregasi koloni di kawasan pedesaan yang dipimpin oleh kepala desa atau kepala dusun. Berdasarkan data alokasi dana desa tahun 2022 ada 74.954 desa di 434 kabupaten / kota.

Memasuki awal tahun politik 2023,  Desa menjadi pembicaraan publik yang ramai ketika ratusan para Kepala Desa melakukan unjuk rasa di Ibukota Jakarta pada tanggal  17 Januari 2023 lalu untuk menyampaikan keinginan mereka tentang masa jabatan Kepala Desa dengan meminta revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dan apabila tuntutan ini tidak dipenuhi maka mereka bakal demo besar-besaran pada bulan Agustus-Oktober 2023 yang akan datang,  ancam Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi).

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 39 ayat 2 masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan masih diberikan batas maksimal yaitu tiga kali untuk mencalonkan diri atau dapat maksimal 18 tahun jika terpilih Kembali. 

Namun ternyata masa periode jabatan tersebut masih dianggap kurang, sehingga pada poin inilah yang menjadi fokus tuntutannya agar masa jabatan tersebut di ubah dari 6 tahun per periode menjadi 9 tahun per periode, dan tetap dapat dipilih untuk 3 periode yang jika ditotal dapat berkuasa selama 27 tahun atau lebih dari seperempat abad.

Sungguh tuntutan yang sangat fantastis dan pragmatis, mengingat pasca reformasi jabatan Walikota, Bupati, Gubernur  bahkan Presiden per periode hanya 5 tahun, dan dapat dipilih kembal maksimal 2 kali, artinya maksimal hanya 10 tahun.

Sulit rasanya untuk memaknai bahwa tuntutan keinginan perpanjangan periodesasi jabatan kepala desa ini hanya karena semangat membangun desa demi kesejahteraan warga desanya. Yang kental terasa justru nuansa semangat untuk tetap sekedar mengedepankan syahwat berkuasa dari pribadi-pribadi sang kepala desa, tanpa terpikirkan soal regenerasi kepemimpinan di Desa tersebut.


SEJARAH SINGKAT PEMILIHAN KEPALA DESA

Pemilihan Kepala Desa secara langsung pertama kali dilaksanakan  pada masa Raffles di bawah Revenue Instruction 1814, artinya sudah berlangsung sekitar 209 tahun. 

Saat itu kebijakan pemilihan kepala desa, bukan dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan desa yang demokratis tapi untuk mencari orang paling berpengaruh (kuat) di desa yang selanjutnya diberi tugas menarik pajak. Hal ini terkait dengan kebijakan land rent atau pajak tanah, dimana Pemilihan ini dilakukan setiap tahun menjelang takwim pajak pada November–Desember.  Adapun Kepala Desa yang terpilih menjabat selama setahun dengan tugas utama adalah menarik pajak tanah tersebut.  (Prof. Hanif Nurcholis).

Kemudian dengan PP No. 212 tahun 1907 tentang Pemilihan Kepala Desa mengganti model pengisian kepala desa ala Raffles 1814. Dan Jabatan Kepala Desa yang terpilih adalah seumur hidup.

Memasuki era penjajahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985: 189-190). Dan Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. (Suhartono et.al. 2001: 49),

Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan UU No. 1/1945. mengatur kedudukan desa dan kekuasaan desa dan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang kepala daerah.  

Kemudian UU No. 1/1945 disempurnakan dengan UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, juga menetapkan desa sebagai daerah yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri (otonom). Jadi, UU ini memberikan status otonomi formal kepada desa, bukan otonomi adat. Dalam UU No. 1/1957, desa dijadikan Daerah Tingkat III.

Pada 1965 Pemerintah mengeluarkan UU No. 19 Tahun 1965 tetang Desapraja Tingkat III di Seluruh Wilayah Indonesia. Pada Pasal 1 dijelaskan tentang Desapraja, yaitu Kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.

Di era Orde Baru melalui UU No. 6 Tahun 1969, UU tentang Desapraja tidak berlaku. Mulai saat itu, dasar hukum desa menjadi tidak jelas. Lalu Untuk mengatasi kekosongan landasan hukum tentang desa, dikeluarkanlah Surat Edaran Mendagri No. 5/1/1969, tanggal 29 April 1969 tentang Pokok-pokok Pembangunan Desa. 

Kemudian mengacu pada UUD 1945 Pasal 18 tentang pemerintah daerah.  dikeluarkanlah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dan berdasarkan Pasal 88 UU No. 5 Tahun 1974, dibuat UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dan desa mulai mendapat dasar aturan yang jelas lagi.

Selanjutnya pengaturan tentang Desa di atur dalam Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lalu pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terakhir pada tahun 2014 keluarlah UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang masih berlaku hingga saat ini di tahun 2023.

SUMBER PENDANAAN DESA

Dana Desa merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada setiap Desa dan digunakan untuk mendanai urusan yang menjadi kewenangan desa yang meliputi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari APBN. 

Besaran dana desa yang di alokasikan dari APBN sejak pertama kali diterapkan  selalu terjadi peningkatan tiap tahun, dengan rincian sebagai berikut :

  • Tahun 2015 sebesar Rp. 20,76 Triliun   
  • Tahun 2016 sebesar Rp. 46,98 Triliun
  • Tahun 2017 sebesar Rp. 60 Triliun
  • Tahun 2018 sebesar Rp. 60 Triliun
  • Tahun 2019 sebesar Rp. 70 Triliun
  • Tahun 2020 sebesar Rp. 71,19 Triliun
  • Tahun 2021 adalah sebesar Rp. 72 Triliun
  • Tahun 2022 adalah sebesar Rp. 68 Triliun
  • Tahun 2023 adalah sebesar Rp. 70 Triliun

Adapun pembagian anggaran dana desa untuk tahun 2023 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 201/PMK.07/2022, pada Pasal 6 ayat (5) disebutkan bahwa pengalokasian dana desa dibagi berdasarkan empat bagian, yakni :

1. Alokasi dasar, dimana penentuan alokasi dasar bagi setiap desa ditentukan berdasarkan jumlah penduduk masing-masing desa.

2. Alokasi afirmasi, dibagikan kepada desa tertinggal dan sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak.

3. Alokasi kinerja, diberikan kepada desa dengan kinerja terbaik yang ditentukan untuk setiap kabupaten/kota

4. Alokasi formula. diberikan dengan porsi sebesar 30% dari anggaran Dana Desa.

Dengan besaran alokasi dana desa tahun 2023 sebesar Rp.70 Triliun dan jumlah desa sebanyak 74.954 desa, maka secara umum rata-rata tiap desa dapat menerima alokasi dana desa per tahun sekitar antara Rp.600 juta – Rp.1 Milyar per desa.

KORELASI DANA DESA DENGAN TINGKAT KEMISKINAN

Jika kita lihat data BPS pada September 2022 menyebutkan, jumlah penduduk miskin mencapai sebesar 26,36 juta orang atau sebesar 9,57% dari jumlah penduduk Indonesia. Dan dari jumlah penduduk miskin tersebut prosentasi terbesar masih berada di pedesaan yaitu sebesar 14,38 juta orang pada September 2022, ini berarti terjadi peningkatan kemiskinan di Desa, yang pada bulan Maret 2022 sebesar 14,34 juta orang. 

Melihat besarnya dana desa yang selalu meningkat tiap tahunnya, sementara tingkat kemiskinan di Desa bukannya berkurang malah meningkat, ini secara umum, dapat diartikan ada yang tidak tepat dalam pemilihan program dan distribusi pemanfaatannya, atau mungkin saja salah orientasi dan terjadi distorsi, ini dapat kita lihat dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menyebutkan bahwa  Sejak 2015 hingga 2022 terdapat 601 kasus korupsi di desa dengan jumlah tersangka 686 orang.

Dan hal ini semestinya yang utama harus dipikirkan dan di perjuangkan oleh para kepala Desa, bagaimana dapat menyelaraskan antara peningkatan dana desa yang diberikan pemerintah pusat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang salahsatu indikatornya adalah terjadi pengurangan tingkat kemiskinan di Desa.

Untuk itu program yang dibuat haruslah program yang mampu membebaskan masyarakat desa dari himpitan dan cengkraman kemiskinan. Dan ini yang seharusnya menjadi fokus perhatian utama dari para kepala desa.

Sehingga yang diperlukan adalah kualitas waktu bukan kuantitas waktu, bagaimana saat menjadi pimpinan di Desa mampu memberikan manfaat pada masyarakat desanya. 

Jika ini tidak terpikirkan apalagi tidak mampu dilakukan, maka kita dapat mengatakan bahwa para kepala desa hanya lebih tertarik mengedepankan syahwat berkuasa daripada semangat menyejahterakan rakyat di desanya.

Dan perlu kita mengingatkan Kembali apa yang pernah dikatakan oleh Lord Acton (1833-1902), bahwa, *“Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”* 

Penulis: Dekan Fak.Ekonomi & Bisnis Univ.Moestopo (Beragama), Jakarta. Dan Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional

Respons Pengamat Kepolisian Irjen Pol Purn Sisno Adiwinoto atas Pernyataan Pengamat Pertahanan Ibu Connie

By On January 25, 2023

Jakarta - Bahwa secara garis besar kedudukan Polri telah direformasi sejak keluarnya TAP MPR VI/Th 2000 dan TAP MPR VII/Th 2000, kemudian pelaksanaannya sejak lahirnya Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri, dan dapat kita pahami bahwa saat ini masalah “Strategis” Polri sudah dapat teratasi dengan baik.

Masalah strategis Span of controll yang dianggap terlalu luas, bahkan terluas di dunia bisa diatasi dengan  Chain of Command, Unity of Command dan prinsip-prinsip managemen lainnya.

Masalah kedudukan organisasi dan peranan Polri telah diatasi dengan adanya Kemandirian Polri yang tetap bersinergi dengan TNI dan kerjasama dengan Kementrian/Lembaga terkait. Keberadaan posisi Polri yang langsung di bawah Presiden sudah sangat tepat dan konstisusional.

Misi Polri secara Universal sama dengan misi polisi di dunia yaitu Fight Crime, Help Delinquent dan Love Humanity, yang sangat sejalan dengan konsep negara hukum yang berdasarkan Falsafah Pancasila, Wawasan Nusantara, Wawasan Kebangsaan dan “Wawasan Keamanan Nasional” (“Kamnas sebagai Wawasan, bukan sebagai Undang-Undang”) serta Kearifan Lokal Masyarakat.

Historically, bahwa keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan tugas - wewenang dan tanggung-jawabnya sebagai  alat negara, sudah melewati sejarah yang cukup panjang, baik secara organisatoris - struktural maupun tarik - menarik kepentingan kekuasaan, namun sampai kini Polri menjadi satu institusi yang  keberadaannya tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan Sishankamrata sebagaimana digariskan dalam konstitusi yang yang tercantum dalam Pasal 30 UUD 1945 dengan uraian sebagai berikut :

Pertama: Bahwa Politik atau kebijakan hukum (legal policy) tentang Pertahanan dan Keamanan Negara dengan  jelas digariskan dalam ketentuan Pasal 30 UUD 1945. 

Dalam ketentuan tersebut ditegaskan tentang bangunan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata)dengan 2(dua) komponen utama atau kekuatan utama, yaitu TNI dan Polri, sedangkan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Bila kita urai Sishankamrata menjadi “Sishanrata dan Siskamrata”, maka dalam “Siskamrata” Polri sebagai kekuatan utama Keamanan, yang bertugas : menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum ;

Kedua: Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 UUD 1945, kemudian terbit UU No.2/2002 tentang Polri, UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 34/2004 tentang TNI, dimana ketiga undang-undang tersebut merupakan UU Organik, yaitu UU yang terbit atas perintah UUD 1945;

Bagi Polri berdasarkan UU No. 2 tahun 2002 dengan jelas dinyatakan sebagai alat negara  yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden sebagai Head of State, dengan tugas wewenang memelihara dan menjaga keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. 

Meskipun kewenangan Polri  luas dan besar sebagai konsekuensi dari luas, berat dan kompleksnya tanggung jawab Polri dalam mengemban tugasnya, namun hal itu tidak terlepas dari pengawasan atau kontrol, baik secara internal (oleh Irwasum / Irwasda dan pengawasan melekat oleh atasan), maupun secara eksternal yang dilakukan oleh Kompolnas dan DPR (political control) serta adanya tanggungjawab Kapolri kepada Presiden sebagai Kepala Negara.

Dengan legalitas, konstruksi, dan mekanisme kontrol sebagaimana yang diuraikan di atas, sepanjang semuanya dilaksanakan secara konsisten, maka kekhawatiran akan potensi munculnya "Sambo-Sambo" baru, menjadi sesuatu yang tidak beralasan.

Walaupun mungkin ada sesuatu yang ‘salah' di Polri, sehingga FS bisa menyeret lebih dari 99 oknum polisi dalam kasusnya, namun kita jangan memakai Logical Falacy yang menggeneralisasi suatu kejadian seperti kasus Sambo tersebut.

Kerusuhan di Brixton di Inggris tahun 1981, Kerusuhan di Los Angeles USA tahun 1992, kerusuhan di Gedung Capitol Hill Washington DC tidak serta merta mengharuskan sistem kepolisian di negara-negara tersebut harus diubah, meski harus ada evaluasi dan koreksi yang diperlukan. 

Melihat adanya kekurangan di Polri seperti kejadian Kasus Sambo yang melibatkan puluhan anggota, Polri tidak serta merta harus merubah sistem Kepolisian Indonesia yang sudah ada.

Pernyataan Ibu Connie untuk memindahkan Polri ke Mendagri itu pernyataan keliru dan menyesatkan yang perlu diluruskan.

Kedudukan Kepolisian Jepang itu dibawah Kompolnas (National Public Safety Commission) dan Kompolnas Jepang dibawah Perdana Menteri. Kompolnas Jepang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri dan lima anggota Kompolnas lain yang tidak boleh terkait dengan Partai Politik. 

Kompolnas Jepang pernah berkunjung ke Kompolnas Indonesia pada tahun 2019.

Polisi Jepang bebas dari pengaruh dan kekuasaan Partai politik.

Institusi Polri tidak bisa disandingkan ataupun disamakan dengan institusi kepolisian di negara lain, karena keberadaan Polri memiliki latar belakang sejarah, budaya, dan karakteristik ataupun jati diri sebagai "Bhayangkara" Negara yang berbeda dengan negara lain. Polri punya Jati diri dan karakteristik yang  berbeda dengan Polisi negara lain.

ERP DAN KOMERSIALISASI JALAN RAYA DI JAKARTA

By On January 20, 2023

 Oleh. Dr. USMAR. SE, MM



Saat ini PEMDA DKI sedang mengkaji regulasi untuk segera menerapkan konsep jalan berbayar di beberapa ruas jalan di Jakarta. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta. Untuk itu Pemda DKI akan menerapkan sistem jalan berbayar elektronik atau 'electronic road pricing (ERP)' di 25 ruas jalan di DKI Jakarta. 

Electronic Road Pricing (ERP) adalah penerapan jalan berbayar berbasis elektronik, dimana setiap kendaraan yang melewati area ERP dapat dikenakan biaya dengan jumlah yang sudah di tentukan. Adapun pada pintu masuk area ERP (restricted area) akan di pasang  teknologi OBU (On Board Unit ), yaitu alat sensor yang dipasangkan pada setiap kendaraan yang terhubung dengan sistem informasi di pusat pengendalian operasi yang dinamai Dedicated Short Range Communications (DSRC), dan bekerja secara otomatis memotong setiap deposit uang dari rekening pengguna jalan yang  melewati pintu masuk ERP tersebut.

Secara teoritis dan konsep mungkin memang sistem jalan berbayar ini dapat mengurangi kemacetan, Electronic Road Pricing (ERP) dimaksudkan dengan tujuan agar pengguna kendaraan pribadi dapat beralih ke transportasi umum massal, namun dengan keberadaan moda transportasi umum yang belum terintegrasi dengan baik di berbagai sudut DKI Jakarta, tentu ini mengkhawatirkan hanyalah sekedar  memindahkan lokasi kemacetan dari  lokasi jalan berbayar ke jalan tidak berbayar.

Jika hal ini terjadi, gaung yang mengasumsikan kebijakan ini hanyalah sekedar komersialisasi jalan dan dapat di tafsirkan sebagai kebijakan elitis yang merampas kebebasan berkendaraan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang secara umum dapat dianggap mempertegas dan mempertontonkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang terjadi.

Memang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PLLSE) di DKI Jakarta ini masih dibahas, yang menurut penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono proses penerapan jalan berbayar atau yang Electronic Road Pricing (ERP) di Jakarta masih cukup panjang. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya kebijakan tersebut dijalankan

tapi sebelum kebijakan tersebut tuntas sampai nanti dalam bentuk PERDA, maka peran aktif masyarakat tentu sangat diperlukan untuk memantau dan mengamati dengan seksama, mengingat kebijakan ini berhubungan dengan hajat kehidupan orang banyak, khususnya warga Dki Jakarta dan sekitarnya. 


GAMBARAN UMUM TRANSPORTASI DI JAKARTA

Dari data Jakarta.bps.go.id, pada tahun 2021, jumlah seluruh kendaraan bermotor di DKI Jakarta mencapai 21.758.695 unit, sudah termasuk  motor, mobil penumpang, bus, dan truk yang teregistrasi, dengan rincian sebagai berikut :

- Mobil Penumpang sebanyak 4.111.231 unit; 

- Bus sebanyak 342.667 unit;  

- Truk sebanyak 785.600 unit. Dan

- kendaraan roda dua atau motor mencapai sebanyak 16.519.197 unit atau sekitar 76 persen dari jumlah kendaraan bermotor yang ada.

Jika kita melihat data BPS tersebut, terjadi kenaikan jumlah kendaraan bermotor dari tahun ketahun, dimana pada tahun 2019 total kendaraan bermotor di Jakarta hanya ada sebanyak  19 883 246 unit, lalu di tahun 2020 meningkat menjadi 20 221 821 unit, dan ditahun 2021 naik menjadi 21.758.695 unit, dan jika tidak diimbangi juga dengan pertumbuhan jalan, maka ini juga menjadi indikator kemacetan. 

Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan, pertumbuhan kendaraan sebesar 1,7 persen, tetapi pertumbuhan jalan 0,01 persen.

Saat ini, tingkat kemacetan di Jakarta menurut Dirlantas mencapai 48 persen, terutama pada waktu pagi hari di rentang pukul 07.00 - 09.00 WIB, saat warga DKI Jakarta memulai aktivitas, dan kemacetan di sore hari yang terjadi mulai pukul 16.00 - 18.00 WIB, ketika masyarakat mulai kembali ke rumah usai melakukan aktivitas.


Transport Demand Management (TDM)

Transport Demand Management (TDM) atau sering juga disebut mobility management meliputi semua metode yang dapat meningkatkan pemanfaatan fasilitas dan sarana transportasi yang telah ada dengan lebih efisien dengan mengatur atau meminimalkan pemanfaatan kendaraan bermotor dengan mempengaruhi perilaku perjalanan yang meliputi: frekuensi, tujuan, moda, dan waktu perjalanan.

Adapun tujuan umum dari Transport Demand Management adalah meningkatkan efisiensi pergerakan lalu lintas secara menyeluruh dengan menyediakan aksesibilitas yang tinggi dengan cara menyeimbangkan antara permintaan dan sarana penunjang yang tersedia, penghematan penggunaan bahan bakar, dan waktu tempuh perjalanan secara lebih efisien (Harata, 1994). Dan ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, yang secara umum bertujuan untuk mewujudkan sistem yang efektif, efisien, lancar, dan terintegrasi.

Untuk tercapainya tujuan ini, maka menurut penulis yang mendesak adalah bagaimana Pemda DKI dan DPRD DKI segera menuntaskan pembahasan tentang rancangan Rencana Induk Transportasi Jakarta (RITJ) yang memuat juga arah kebijakan dari transportasi di DKI sampai 2039. 

Mengapa ini diperlukan agar Pemda DKI mempunyai pijakan yang strategis dan pasti tidak hanya ingin menyelesaikan kemacetan dengan cara kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) saja yang akan diterapkan, apalagi dalam skala besar yaitu di 25 ruas jalan di Jakarta. Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PLLSE) saja di DKI Jakarta pun belum selesai pembahasannya.

Jika yang dilakukan oleh Pemda DKI hanya sekedar ingin segera menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar yang digunakan sebagai penerapan dari Transport Demand Management untuk mengurangi kemacetan tidak dengan cara yang lebih komprehensif dalam menuntaskan kemacetan di Jakarta, maka tidak salah kalau kita katakan ini adalah kebijakan elitis yang merampas kebebasan masyarakat untuk berpergian di Jakarta ini.

Adapun 25 ruas jalan yang akan diterapkan ERP, yaitu sebagai berikut.

  1. Jalan Pintu Besar Selatan
  2. Jalan Gajah Mada
  3. Jalan Hayam Wuruk
  4. Jalan Majapahit
  5. Jalan Medan Merdeka Barat
  6. Jalan Moh Husni Thamrin
  7. Jalan Jend Sudirman
  8. Jalan Sisingamangaraja
  9. Jalan Panglima Polim
  10. Jalan Fatmawati (Simpang Jalan Ketimun 1 - Simpang Jalan TB Simatupang)
  11. Jalan Suryopranoto
  12. Jalan Balikpapan
  13. Jalan Kyai Caringin
  14. Jalan Tomang Raya
  15. Jalan Jenderal S Parman (Simpang Jalan Tomang Raya - Simpang Jalan Gatot Subroto)
  16. Jalan Gatot Subroto
  17. Jalan MT Haryono
  18. Jalan DI Panjaitan
  19. Jalan Jenderal A Yani (Simpang Jalan Bekasi Timur Raya - Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan)
  20. Jalan Pramuka
  21. Jalan Salemba Raya
  22. Jalan Kramat Raya
  23. Jalan Pasar Senen
  24. Jalan Gunung Sahari
  25. Jalan HR Rasuna Said

Dengan rencana besaran tarif yang akan dikenakan adalah sekitar Rp5.000 hingga Rp19.000 sekali melintas.

Untuk itu perlu kita ingatkan bahwa dana pembangunan 25 ruas jalan yang akan ditetapkan sebagai ruas jalan berbayar (ERP) tersebut berasal dari APBD DKI, dan itu pasti berasal dari uang rakyat.

Padahal esensi dari Transport Demand Management adalah untuk mengurangi jumlah kendaraan dengan menggunakan sistem jaringan jalan dengan menyediakan berbagai pilihan mobilitas (kemudahan melakukan perjalanan) bagi siapa saja yang berkeinginan untuk melakukan perjalanan, bukan hanya untuk siapa saja yang mampu membayar.

*Penulis: Dekan Bu Fak.Ekonomi & Bisnis Univ. Moestopo (Beragama), Jakarta/Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)*

'HAJAR..!' dan 'TEMBAK..!' DALAM 'PERISTIWA DUREN TIGA'

By On January 10, 2023

Oleh: Suryadi (Pemerhati Budaya & Kepolisian)


Silang pendapat tentang kata “hajar” dengan “tembak” terjadi antara seorang eks jenderal bintang dua (FS) dan Bharada (E). Mereka merupakan orang dekat satu sama lain yang menjadi “terdakwa utama” terbunuhnya seorang bintara (J) yang perkaranya sejak Oktober 2022  disidangkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).

Soal vonis di ujung akhir persidangan kelak, itu urusan majelis hakim; hak yang didasarkan atas  undang undang dan keyakinan mereka. Kelak mereka pula yang mempertanggungjawabkannya di hadapan Yang Mahatahu dan Maha membolak-balikkan pikiran manusia.

Lantas, bagaimana memaknai “hajar” dan “tembak”? 

Di negeri yang kaya akan kias dan “bapakisme” ini, ada Peribahasa lama: “Bahasa menunjukkan budaya bangsa”.

PERHATIAN publik, agaknya, sejak Juli 2022 hingga kini, tersita oleh kejadian yang populer dengan sebutan “Peristiwa Rumah Dinas di Kompleks Polri Duren Tiga” (“Peristiwa Duren Tiga”). Ruang tempat menyidangkan perkara itu di PN Jaksel, selalu penuh oleh “pengunjung setia” dan awak media. Sidang sudah memasuki bulan ke-7 atau bulan pertama di awal 2023. 

Di salah satu persidangan (Selasa, 27 Desember 2022) “terdakwa utama”  FS menyanggah kesaksian “terdakwa utama” lainnya, Bharada E. Mengaku bersalah dan bertanggung jawab atas terbunuhnya J, FS tetap mengklaim “cuma” memerintahkan “hajar” kepada E. Di lain pihak, E mengaku diperintah “tembak” oleh FS. 

Terdakwa E adalah “Justice Collaborator” (JC) atau “saksi pelaku yang bekerja sama” untuk pembuktian peristiwa pidana (yang sebenarnya). Persidangan kini tengah menyidangkan perkara pembunuhan berencana terhadap J. Korban J tewas seketika ditembak, dalam peristiwa ini yang menurut pengakuan semula E, diskenariokan oleh FS sebagai peristiwa tembak-menembak.   

Baik E, seorang Tamtama Brimob, maupun korban tewas J, bertugas dalam Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri yang dipimpin oleh Jenderal FS. Sebagai orang dekat, E dan J merupakan dua di antara sejumlah ajudan (adc) FS. Sehari-hari J bertugas mengajudani PC, istri FS, sedangkan E secara bergantian dengan adc lainnya mengajudani FS.

Dalam persidangan, FS bersikeras bahwa penembakan terhadap J berlatar belakang ketersinggungan harga dirinya. Sebab,  korban telah melecehkan istrinya ketika di rumahnya yang di Magelang, Jateng --bukan di rumah dinasnya di Duren Tiga, seperti ia sekenarionkan sebelumnya. 

Benarkah latar belakangnya begitu? Biarlah pengadilan yang membutktikan. Bukankah aneh bila ada pembunuhan berencana tanpa motif? Tulisan ini coba menguak “hajar” dan “tembak” dalam arti dan permaknaan atas  kedua kata tersebut.  


KAMUS

BERSYUKUR bangsa yang senang berkias dan berbasa-basi dalam bertutur ini, memiliki banyak ahli bahasa dan Kamus hasil karya para bijak itu. Meski, mungkin, tak banyak yang berminat (kecuali yang memang menyenangi) untuk mendalami bahasa Indonesia secara keilmuan melalui pendidikan formal atau belajar sendiri (otodidak). Berbagai  alasan bisa dikemukakan, termasuk soal peluang kerja.  

Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” (KBBI), kata Kamus diberi arti dalam tiga kelompok (2002: 499): 

  1. buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut tentang makna, pemakaian, atau terjemahannya; 
  2. buku yang memuat istilah atau nama yang disusun menurut abjad serta penjelasan tentang makna dalam pemakaiannya; dan 
  3. keterangan diri, pikiran.

Bermacam-macam kamus dapat ditemukan, baik tentang kata menurut bahasa dari suatu suku, bangsa, maupun peribahasa, yang diberi arti ke dalam Bahasa Indonesia. Beberapa di antara kamus itu, selain KBBI yang disusun oleh Depdiknas – Balai Pustaka, ada pula Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia (KKSADBI) disusun oleh ahli bahasa J.S. Badudu. 

Juga ada Kamus Belanda – Indonesia (W. van Hoeve); Kamus Inggris – Indonesia (KII, John M. Echols – Hassan Shadily), dan Kamus Bahasa Indonesia & Dayak Ngaju (KBI & DNg, Dr. Almalia Tara Elbaar dan kawan-kawan). Seperti halnya J.S.Badudu yang juga menyusun Kamus Peribahasa (KP), B.J. Marwoto dan H. Witdarmono kreatif menyusun Proverbia Latina, Pepatah-pepatah Bahasa Latin (PL PB, 2006). Menarik dan sangat kreatif!

Dengan kamus, orang terbimbing berhati-hati agar dapat menggunakan kata  secara tepat. Malah, terkadang menjadi kreatif, misalnya, kerap terdengar orang berkata, “Tak ada kamus untuk menyerah”. Padahal, mungkin hanya ingin mengatakan: “pantang menyerah” atau “lawan terus”. Tetapi, mungkin lantaran memang tidak tahu atau “terlalu kreatif”, akibatnya  tak sedikit pula yang menyimpang,   

Kata “hajar” dalam KBBI disebutkan juga ”meng.ha.jar” yang diberi arti 1) memukuli  supaya jera, 2) membuat tidak berdaya (2022: 380). Tak diberi batas sampai sejauh apa tidak berdaya yang dimaksudkan. Sementara kata “berdaya” diberi arti 1) berkekuatan, berkemampuan, bertenaga, dan 2) mempunyai akal untuk mengatasi sesuatu. Diberi contoh ”mem.ber.daya.kan” yang diberi arti membuat berdaya (2002: 241). Untuk kata “tembak” jika itu dimaksudkan dengan “me.nem.bak” (verb), oleh KBBI diberi arti melepaskan peluru dari senjata api (2002: 1165).


RAGAM dan KONTEKS

AHLI  Bahasa Indonesia, Prof. Amran Halim (alm), di masa hidupnya dikenal ketat dalam penggunaan, pengartian, dan permaknaan suatu kata dalam Bahasa Indonesia. Namun, Amran yang terakhir menjadi Rektor Universitas Siriwijayaia (UNSRI) ini, juga bisa “memahami”, bila suatu kata digunakan dalam “macam” atau “jenis” apa,  semisal “ragam jurnalistik”. 

Dalam KBBI, kata “ragam” diberi arti bermacam-macam. Satu di antaranya mengartikan “ragam”  sebagai “macam” atau “jenis”.  Sementara kata “leksikal” diberi arti berkaitan dengan kata atau kosa kata (2002: 920 dan 653).

Bahasa Indonesia memberi ruang untuk memahami suatu kata secara tekstual, selain  kontekstual. Artinya, “hajar” secara tekstual dapat dipahami secara normatif dan sesuai simbol-simbol tertulis. Sebaliknya, secara kontekstual, tidak hanya dipahami dari teks, sehingga diartikan sebagai sesuatu yang memiliki kaitan atau hubungan dengan konteks.

“Konteks” dalam “KSADBI”, diantaranya diberi arti “sesuatu di luar bahasa yang mendukung makna ujaran” dan “semua faktor dalam proses komunikasi di luar wacana, misalnya situasi”. Sementara “kontekstual” diberi arti berhubungan dengan konteks (2003: 194). 

Dikenal pula, kata dan frase yang dapat dipahami secara “konotatif” dan “denotatif”. Konotatif diberi arti mengandung sifat konotasi, yaitu makna sampingan pada kata atau frase (2003: 192). Sebaliknya denotatif, yaitu sersifat denotasi atau makna yang mengacu secara lugas pada sesuatu di luar bahasa. Sifatnya objektif (2003: 54). Secara singkat, agaknya, bermakna “tidak yang sebenarnya” untuk konotatif, dan  sebaliknya “yang sebenarnya” untuk denotatif.    

Ahli Bahasa Forensik Universitas Negeri Semarang, Jateng, Subyantoro, mengartikan makna kata “hajar” yang dilontarkan FS saat memerintahkan E, bergantung pada konteks kalimat dan situasi. Bharada E diperintahkan oleh FS untuk menghajar Brigadir J saat ia tengah membawa senjata berisikan beberapa peluru di dalamnya. Subyanto menilai makna hajar bisa disesuaikan dengan konteks situasi saat itu (https://video.kompas.com/watch/233723, 27 Desember 2022, 21:46 WIB).

Tentang perintah “hajar” yang diperdebatkan oleh FS dan E dalam persidangan di PN Jaksel, saya jadi teringat “bereskan” yang kerap dilontarkan “para komandan” untuk “membereskan” orang-orang atau kelompok-kelompok yang tak sehaluan di zaman sebelum Reformasi. Harsutejo dalam buku ”Kamus Kejahatan Orde Baru, Cinta Tanah Air dan Bangsa” menulis (2010: 29), “Bereskan! Kata ini bisa berarti beres berdasarkan kelanggengan kekuasaannya (penguasa, pen) sampai bunuh!” **

 PARA CAPRES ITU DAN TRAH SUKARNO

By On January 07, 2023

Oleh: Dr. USMAR. SE, MM


SAAT ini riuhnya persoalan siapa kandidat Capres yang akan di usung dalam kontestasi politik Pencapresan untuk periode 2024-2029, makin semarak dan beragam dari perspektif ungkapan dengan alasan pembenar yang juga beragam, mengapa figur tersebut layak di usung.

Namun dari nama kandidat yang beredar tetap tak beranjak, hanya merujuk pada nama-nama yang memang sudah sering di sebutkan di berbagai media massa dan dengan beragam juga Lembaga survey yang menguatkan hasil survey mereka tentang pembenaran mengapa nama kandidat tersebut “marketable” untuk ikut kontestasi Capres. 

Sebut saja secara abjad kandidat tersebut diantaranya, Anies Baswedan, Airlangga Hartarto, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Muahaimin Iskandar dan yang lainnya.

Dari kandidat di atas, baru Anies Baswedan yang sudah diusung oleh Partai Nasdem dan Prabowo Subianto oleh Partai Gerindra yang secara terang menyebutnya sebagai Capres dari Partai mereka, sedangkan untuk nama yang lainnya, publik masih menunggu pengumuman resmi dari partai pengusungnya.

Seperti kita ketahui Bersama berdasarkan UU Pemilu No.7 tahun 2017 pasal 222, bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta PEMILU yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Dengan melihat ketentuan pada pasal 222 tersebut, dari skenario dan koalisi *(meski belum permanen)* yang paling mungkin dapat mencalonkan kandidatnya adalah sbb:

1. PDIP sebanyak 22,26 % Kursi DPR RI

2. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yaitu Golkar, PAN & PPP sebanyak 25,73% kursi di DPR RI

3. Gerindra dan PKB sebanyak 23, 84% Kursi di DPR RI, 

4. Koalisi Nasdem, Demokrat & PKS sebanyak 28,3% Kursi di DPR RI

Jadi meski Gerindra sudah menyebutkan nama kandidatnya yaitu Prabowo Subianto Dan Partai Nasdem yang mengusung Anies Baswedan, namun itu belum dapat langsung ditetapkan, mengingat perolehan suara yang dimiliki oleh Gerindra maupun Nasdem secara sendiri belum mencukupi, artinya masih perlu persetujuan dan dukungan anggota koaslisi lainnya yang sampai saat tulisan ini di buat belum ada persetujuan resmi dukungan terhadap kandidat tersebut.

Sementara disisi lain PDIP yang memenuhi syarat untuk dapat mengusulkan sendiri kandidat Presiden, masih belum mendeklarasikan secara resmi Capres mereka yang saat ini beredar di masyarakat, yaitu Ganjar Pranowo dan Puan Maharani.

Tentu sebagai Parpol pemenang Politik dalam dua periode Pemilu yang lalu, sangat di tunggu oleh masyarakat. Apakah PDIP akan mengusung kadernya itu, Ganjar Pranowo yang menurut berbagai Lembaga Survey sangat kuat dukungan masyarakat, ataukah Puan Maharani yang juga sangat kuat di dukung oleh internal PDIP.


*DILEMA PDIP*

Memang dapat dipahami, kesulitan PDIP dalam memutuskan siapa kandidat Presiden yang akan mereka usung, apakah itu Ganjar Pranowo ataukah Puan Maharani.

Sebagai analogi, Partai Politik adalah sebuah kendaraan, maka untuk layak jalan kendaraan tersebut, tentu membutuhkan perawatan rutin, baik itu pemberian pelumas yang teratur, pemeriksaan mesin yang terjadwal, bahkan pengurusan administrasi surat keabsahan yang tak bisa diabaikan. Begitu juga dengan partai politik, membutuhkan perawatan yang telaten tersebut. 

Jadi ketika para fungsionaris partai politik telah bekerja siang malam dalam menjaga mesin politik partai untuk tetap dapat berjalan dengan baik, hingga sangat siap untuk ikut kontestasi politik, lalu pada saat kendaraan tersebut mau digunakan saat ada pesta politik, ada opini dari eksternal partai apapun sebagai pembenarnya, bahwa yang layak membawa kendaraan tersebut berdasarkan asumsi publik adalah orang yang justru bukan ikut langsung sebagai fungsionaris partai tsb. 

Sementara disisi lain memberikan Apresiasi terhadap mereka yang telah bekerja keras menjaga mesin partai tetap kuat dan eksis, sudah semestinya harus juga diberikan penghormatan. Inilah dilemma PDIP


*THE RIGHT MAN IN THE RIGHT PLACE*

Ungkapan dari teori manajemen bahwa menempatkan orang yang benar di tempat yang benar adalah syarat mutlak untuk sukses jalannya sebuah organisasi, selain juga harus diperkuat dengan perencanaan dan strategi yang matang untuk mencapai target yang telah ditetapkan.

Seperti kita ketahui bersama, salahsatu nama yang akan di usung oleh PDIP sebagai Capres yaitu Puan Maharani. Beliau ini dari Trah turunan jelas adalah cucu dari seorang Proklamator Bung Karno, dan secara prestasi politik sudah tidak diragukan lagi, baik sebagai pimpinan partai maupun sebagai pimpinan berbagai Lembaga Negara, seperti pernah menjadi Menko Kesra dalam Kabinet 2014-2019 dan menjadi ketua DPR RI  periode 2019-2024. 

Hanya saja pemilihan penempatan posisi puan sebagai pimpinan Lembaga negara tersebut, kurang tepat jika dalam roapmap jangka panjang ingin mengusung Puan Maharani sebagai Presiden Republik Indonesia.

Penulis berpendapat, jika memang Puan Maharani sejak lama akan di proyeksikan sebagai Presiden, alangkah baiknya pada saat dibentuknya Kabinet 2014-2019, beliau jangan ditempatkan sebagai Menko Kesra. Harusnya ditempatkan sebagai Menteri Pertanian.

Karena dalam posisi Menteri Pertanian, puan dapat mengimplementasikan konsepsi Bung Karno tentang *“MARHAENISME”* dengan membangun basis kekuatan pada Petani dan Nelayan. Tentu sebagai Marhaenis, Puan dapat memprioritaskan untuk membuat program peningkatkan kesejahteraan Petani dan Nelayan kaum marhaen tersebut, yang kemudian kelak, ini akan menjadi basis dukungan politik yang kuat dengan basis massa yang juga sangat besar tentunya.

Sedangkan pada periode 2019-2024, karena PDIP juga sebagai pemenang Pemilu, maka mestinya Puan Maharani dapat di tempatkan sebagai Menteri Sosial. Dari fungsi sebagai Menteri Sosial, Puan dapat melanjutkan atensi langsung terhadap basis Petani dan Nelayan dalam memperoleh dan merawat kesejahteraannya. Sehingga dengan demikian basis dukungan politiknya sangat jelas dan kuat.

Namun Ketika dalam periode 2029-2024 ini, Puan Maharani di tempatkan sebagai Ketua DPR RI, meski sangat prestisius sebagai perempuan Indonesia Pertama yang jadi Pimpinan Palemen, namun disisi lain secara realistis, Lembaga DPR RI ini adalah Lembaga Politik yang paling rentan menjadi tempat umpatan, cacian bahkan makian masyarakat jika terjadi kegagalan berbagai persoalan sosial politik bangsa. Tentu dengan sendirinya akan berdampak pada sosok Pimpinannya.

Jadi ketika berbagai Lembaga survey yang merilis hasil survey mereka terhadap sosok Puan Maharani tidak menggembirakan, itu diantaranya adalah dampak dari tidak tepatnya pilihan penempatan posisi Puan Maharani di Lembaga tersebut.

Entahlah apakah gagasan untuk mengusung Puan Maharani sebagai Capres adalah program dadakan yang memang tidak ada roapmap jangka panjang yang dirancang dan direncanakan sejak dari awal. tapi ini menurut penulis adalah *“The right man on the wrong place”* yang dapat dikatakan agak bergeser dari teori manajemen tersebut diatas. Mengutip Benyamin Franklin yang mengatakan bahwa *“If you fail to plan, you plan to fail”*, jika kau gagal membuat rencana, berarti memang merencanakan kegagalan.


*AKHIR PENANTIAN*

Dalam penantian masyarakat tentang sosok Capres yang akan di usung oleh PDIP, apakah itu Ganjar Pranowo atau Puan Maharani, penulis memperkirakan kemungkinan akan di umumkan secara resmi kepada publik, pada tanggal 10 Januari 2023 ini saat perayaan ulang tahun PDIP yang Ke-50, sebagai forum yang tentu sangat prestisius untuk mendeklarasikan seorang Capres. Tetapi jika itu belum terjadi maka yang paling mungkin PDIP akan mengumumkannya pada saar PDIP RAKERNAS sekitar bulan Maret 2023, yang sedikit kurang prestisius dibandingkan forum Ulang Tahun PDIP. Mungkin itulah momen akhir penantian tersebut.


*Penulis:

DEKAN Fakultas. Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo (Beragama), Jakarta & Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional*.