CILEGON – Proses pembentukan Koperasi Merah Putih di Kelurahan Karang Asem, Kota Cilegon, tercoreng skandal dugaan nepotisme terang-terangan. Anak Lurah Karang Asem, Safiudin, sempat ditunjuk sebagai Sekretaris Koperasi, meski aturan tegas dari Kementerian Koperasi RI jelas-jelas melarang keterlibatan keluarga pejabat desa/kelurahan dalam struktur pengurus koperasi.
Dalam Petunjuk Pelaksana Menteri Koperasi RI Nomor 1 Tahun 2025, tertulis secara eksplisit bahwa pengurus koperasi tidak boleh memiliki hubungan keluarga sedarah maupun semenda sampai derajat pertama dengan pengurus lainnya, pengawas, ataupun unsur pimpinan desa. Namun fakta di lapangan menunjukkan, aturan itu seolah hanya formalitas di atas kertas.
Nama anak lurah Karang Asem bahkan diumumkan dan dicatat resmi sebagai sekretaris koperasi, dalam proses yang disebut-sebut disaksikan oleh notaris dan unsur Dinas Koperasi. Ironisnya, pembentukan koperasi tersebut diklaim berjalan adil dan transparan.
Ketika dikonfirmasi, Lurah Karang Asem, Safiudin, berdalih tak mengetahui keterlibatan anaknya.
"Informasi itu hanya miskomunikasi. Saya tidak tahu anak saya ikut seleksi pengurus Koperasi Merah Putih. Tapi itu pun tidak sampai terjadi karena pihak notaris dan Kepala Dinas Koperasi sudah melarang anak saya masuk kepengurusan," kata Safiudin kepada pressroom.co.id, Selasa (27/5).
Namun publik bertanya-tanya, bagaimana mungkin nama anak seorang lurah lolos dalam struktur resmi koperasi tanpa sepengetahuan orang tuanya, yang notabene adalah kepala wilayah? Dan lebih dari itu, bagaimana notaris bisa menyaksikan dan mencatatnya jika sejak awal sudah melanggar aturan menteri?
Alih-alih menjawab tegas, Safiudin justru memberi alasan lain yang tak kalah mencengangkan.
"Saya belum sempat membaca regulasinya secara detail. Banyak sekali keluhan warga yang harus saya tangani. Jadi saya tidak fokus untuk membaca aturan-aturan," akunya.
"Lagi pula, masuknya anak saya itu murni usulan dari tokoh masyarakat. Anak saya banyak bantu program-program kelurahan, itu yang jadi dasar masyarakat menunjuk dia jadi pengurus koperasi," tambahnya.
Pernyataan ini justru memperkuat dugaan publik bahwa proses pemilihan pengurus koperasi telah disusupi kepentingan personal. Bantuan terhadap program kelurahan dijadikan dalih untuk memberi jabatan strategis kepada keluarga pejabat, tanpa memedulikan etika maupun regulasi.
"Kalau bantu-bantu lurah lalu dapat jabatan koperasi, itu bukan partisipasi warga, itu sogokan jabatan," ujar salah satu masyarakat Karang Asem yang meminta namanya tidak dicantumkan.
"Koperasi dibentuk untuk kepentingan warga, bukan jadi tempat parkir dinasti kecil," sambungnya.
Kisruh ini menjadi bukti bahwa praktik ‘oligarki mikro’ tak hanya terjadi di level nasional, tapi telah merambat hingga ke struktur kelurahan. Kementerian Koperasi RI dan Dinas terkait diminta tidak tinggal diam. Jika tidak ditindak tegas, koperasi rakyat hanya akan jadi panggung elit lokal untuk memperluas pengaruh dan melanggengkan kekuasaan keluarga. (Ldy)