Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan institusi penting di Indonesia yang menjadi
penentu dan penanggung jawab ketertiban masyarakat. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, fungsi Polri meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat.
Sebagai lembaga negara yang senantiasa berhubungan dengan
masyarakat, kinerja, performa dan sikap oknum-oknum kepolisian menjadi sorotan masyarakat. Dan harus
diakui hingga saat ini, kinerja dan performa Polri belum memuaskan publik.
Segala aspek yang meliputi performa kepolisian masih negatif di mata
masyarkat.
Sejalan dengan Kebijakan Reformasi Birokrasi Nasional,
Polri juga telah merumuskan Program Reformasi Birokrasi Polri (RBP). Reformasi
Birokrasi Polri Gelombang I, sejatinya telah dilaksanakan sejak tahun 1999
meliputi tiga aspek, yaitu instrumental, struktural dan kultural. Tujuannya
adalah menciptakan Polri yang profesional, mandiri, menjadi alat negara yang
efektif, serta tidak mengabaikan kepentingan masyarakat.
Reposisi Polri dari tubuh ABRI, sebagaimana UU
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, serta
TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang
Pemisahan Polri dari ABRI dan Pembagian Wewenang, merupakan
tonggak awal kemandirian Polri dalam menentukan kebijakan organisasi.
Periode berikutnya, Polri mengulirkan RBP
Gelombang II (2011-2014) yang diintegrasikan dengan Renstra Polri Tahap II,
yaitu membangun kemitraan (partnership
building). RBP tersebut diperkuat dengan
program revitalisasi menuju pelayanan
prima melalui tiga kerangka road map, yaitu
penguatan institusi (institution
strengthening), terobosan kreatif (creative
breakthrough) dan peningkatan integritas (integrity improvement).
Secara menyeluruh
sejalan dengan Rencana Pembangunan Menengah Jangka Menengah Nasional (RPJMN),
Polri menetapkan grand strategy yang dilaukan dalam empat tahap, yaitu Renstra
tahap I (2005 – 2009), Tahap II (2010 -2014), Tahap III (2015 – 2019) dan Tahap
IV (2020 – 2025). Rancangan ini dimaksudkan untuk mewujudkan postur Polri yang
profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, penganyom dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam
memelihara kamtibmas dan menegakkan hukum.
Seiring
dinamika masyarakat, globalisasi dunia dan tuntutan reformasi birokrasi
nasional, Polri dituntut melaksanakan pelayanan publik yang akuntabilitas,
responsif, berorientasi pada pelayanan profesional, transparan, mudah, murah,
cepat dan tidak berbelit-belit.
Selain
itu, masyarakat juga menuntut kualitas pelayanan (service quality) yang diberikan Polri. Adanya
service quality yang prima,
diharapkan tercipta persepsi positif dari masyarakat terhadap Polri. Sehingga
diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan terhadap Polri.
Hingga
saat ini, reformasi Polri belum membuahkan hasil yang maksimal. Terlihat belum
ada perubahan yang signifikan terutama pada aspek kultural. Polri tetap menjadi
institusi pemerintah yang tidak produktif, arogan, diskriminatif, koruptif,
terlalu santai (tidak sigap) dan memanfaatkan kedudukan untuk kepentingan
pribadi, hingga akhirnya justru menjadi beban masyarakat. Padahal, reformasi
Polri diharapkan mampu mewujudkan Polri sebagai alat penegak hukum yang sesuai
dengan prinsip-prinsip civil society yang bercirikan supremasi hukum dan
menjunjung tinggi HAM. (Samego, 2010).
Secara nyata, kepercayaan
masyarakat terhadap Polri terlihat masih rendah, karena pelayanan yang
diberikan oleh Polri belum prima atau bahkan sangat buruk.
Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui mengapa kualitas pelayanan Polri
belum prima, mengapa tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah dan mengapa
reformasi yang telah dilakukan Polri belum mencapai target.
Tantangan dan tanggung jawab yang harus dilakukan Polri saat ini adalah
mengembalikan kepercayaan publik kepada Polri. Untuk mencapai hal itu perlu
dilakukan beberapa hal yang merupakan bagian dari reformasi total kepolisian.
Proses pembenahan pada sisi struktural dan instrumental dapat dilakukan
dan selesai dalam kurun waktu yang relatif cepat dan singkat. Namun pada aspek
kultural terlihat lebih sulit, masih memerlukan proses secara
berkesinambungan.
Aspek Kultural Tak Ada Perubahan Signifikan
Berdasarkan teori administrasi publik sebagai grand theory yang berkaitan dengan pelayanan publik, RBP yang dilaksanakan Polri aspek birokrasi, tampak sudah cukup baik pada pembuatan sistem atau prosedur, serta program-program untuk memperbaiki dan mengembangkan orgainisasi kepolisian. Namun yang masih menjadi masalah adalah pada tataran implementasinya. Perlu dinaikkan standar operasional dan aspek-aspek birokrasi tersebut harus ditujukan untuk pelayanan publik. Bagaimanapun canggih atau berkualitasnya birokrasi harus ter - output dalam betuk pelayanan dan kemitraan kepada publik dengan baik dan maksimal.
Pada reformasi kultural, aspek ini belum terlalu mencapai perubahan dan perbaikan yang signifikan pada aparat kepolisian. Polisi masih memiliki permasalahan kultural yang mengganggu performa kepolisian dan menunda terwujudnya ketertiban sosial yang maksimal. Polri masih memiliki mental, intelektual dan karakteristik yang masih jauh dari harapan publik, terlebih memuaskan ekspektasi publik.
Hal ini dapat terlihat, bahwa Polri masih memiliki kesan sebagai penguasa atau pejabat daripada sebagai rekan, partner atau abdi Negara, yang ditugaskan pada aspek keamanan dan ketertiban.
Selain itu, moral kepolisian juga masih belum menunjukkan kemajuan dan perbaikan yang maksimal. Moralitas koruptif kepolisian masih menjadi budaya. Polisi saat ini juga masih berkutat pada budaya, paradigma dan konsepsi lama yang belum terlalu antisipatif terhadap perkembangan zaman.
Pada tataran masyarakat, ketidak-percayaan publik terletak pada kelemahan kepolisian pada aspek tersebut. Aspek kultural adalah aspek paling penting dalam hubungannya dengan publik. Aspek kultural yang negatif menciptakan apatisme dan kebencian oleh publik di mana seharusnya dua pihak tersebut berjalan bersama-sama dalam menciptalan keamanan, ketertiban, dan instabilit sosial.
Untuk mengembangkan aspek kultural tersebut perlu dilakukan beberapa hal yang terangkum dalam tiga poin.
Pertama, menciptakan citra polisi yang bersahabat. Hal itu dilakukan dengan lebih mengedepankan keramahan dan kesopanan serta menjunjung tinggi martabat sipil. Kenyamanan sipil haruslah menjadi prioritas pelayanan kepolisian. Masyarakat sipil bukan lagi menjadi objek namun partner dan rekan yang secara bersama menjaga ketertiban sosial.
Kedua adalah dengan menjadi polisi yang lebih bermoral. Polisi harus memiliki keluhuran tinggi dan berparadigma kepada nilai-nilai kehidupan pada tugas pelayanan publiknya. Hanya dengan inilah hukum dapat terwujud. Karena penjaga atau pelaksana hukum haruslah merupakan pihak-pihak yang telah terjamin moralnya, sehingga dapat melaksanakan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Polisi akhirnya benar-benar sebagai fasilitator bukan lagi sebagai pihak yang memperkeruh tugas dan tujuannya sendiri.
Berdasarkan teori administrasi publik sebagai grand theory yang berkaitan dengan pelayanan publik, RBP yang dilaksanakan Polri aspek birokrasi, tampak sudah cukup baik pada pembuatan sistem atau prosedur, serta program-program untuk memperbaiki dan mengembangkan orgainisasi kepolisian. Namun yang masih menjadi masalah adalah pada tataran implementasinya. Perlu dinaikkan standar operasional dan aspek-aspek birokrasi tersebut harus ditujukan untuk pelayanan publik. Bagaimanapun canggih atau berkualitasnya birokrasi harus ter - output dalam betuk pelayanan dan kemitraan kepada publik dengan baik dan maksimal.
Pada reformasi kultural, aspek ini belum terlalu mencapai perubahan dan perbaikan yang signifikan pada aparat kepolisian. Polisi masih memiliki permasalahan kultural yang mengganggu performa kepolisian dan menunda terwujudnya ketertiban sosial yang maksimal. Polri masih memiliki mental, intelektual dan karakteristik yang masih jauh dari harapan publik, terlebih memuaskan ekspektasi publik.
Hal ini dapat terlihat, bahwa Polri masih memiliki kesan sebagai penguasa atau pejabat daripada sebagai rekan, partner atau abdi Negara, yang ditugaskan pada aspek keamanan dan ketertiban.
Selain itu, moral kepolisian juga masih belum menunjukkan kemajuan dan perbaikan yang maksimal. Moralitas koruptif kepolisian masih menjadi budaya. Polisi saat ini juga masih berkutat pada budaya, paradigma dan konsepsi lama yang belum terlalu antisipatif terhadap perkembangan zaman.
Pada tataran masyarakat, ketidak-percayaan publik terletak pada kelemahan kepolisian pada aspek tersebut. Aspek kultural adalah aspek paling penting dalam hubungannya dengan publik. Aspek kultural yang negatif menciptakan apatisme dan kebencian oleh publik di mana seharusnya dua pihak tersebut berjalan bersama-sama dalam menciptalan keamanan, ketertiban, dan instabilit sosial.
Untuk mengembangkan aspek kultural tersebut perlu dilakukan beberapa hal yang terangkum dalam tiga poin.
Pertama, menciptakan citra polisi yang bersahabat. Hal itu dilakukan dengan lebih mengedepankan keramahan dan kesopanan serta menjunjung tinggi martabat sipil. Kenyamanan sipil haruslah menjadi prioritas pelayanan kepolisian. Masyarakat sipil bukan lagi menjadi objek namun partner dan rekan yang secara bersama menjaga ketertiban sosial.
Kedua adalah dengan menjadi polisi yang lebih bermoral. Polisi harus memiliki keluhuran tinggi dan berparadigma kepada nilai-nilai kehidupan pada tugas pelayanan publiknya. Hanya dengan inilah hukum dapat terwujud. Karena penjaga atau pelaksana hukum haruslah merupakan pihak-pihak yang telah terjamin moralnya, sehingga dapat melaksanakan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Polisi akhirnya benar-benar sebagai fasilitator bukan lagi sebagai pihak yang memperkeruh tugas dan tujuannya sendiri.
Ketiga, dengan menjadi polisi yang pencegah, bukan penindak. Hal ini adalah yang paling substansial. Apa arti sosial kemasyarakatan jika telah terjadi peristiwa meskipun dilakukan proses penindakan yang baik dan profesional. Kehidupan sosial yang baik adalah yang tidak ada atau yang paling jauh adalah minim dari tindakan kejahatan dan instabilitas. Aparat kemanan yang sejati adalah mencegah potensi-potensi kejahatan yang muncul bukan menindak segala peristiwa yang terjadi. * (Disarikan dari disertasi penulis pada program doktoral di STIK, berjudul Polisi Saat ini dan Harapan Masyarakat).
Oleh : Irwansyah