-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Polri Dan Harapan Masyarakat Masa Kini

12/08/2019 | 12/08/2019 WIB | 0 Views Last Updated 2020-02-12T06:37:10Z



Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)  merupakan institusi penting di Indonesia yang menjadi penentu dan penanggung jawab ketertiban masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, fungsi Polri meliputi  pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.

Sebagai lembaga negara yang senantiasa berhubungan dengan masyarakat, kinerja, performa dan sikap oknum-oknum kepolisian menjadi sorotan masyarakat. Dan harus diakui hingga saat ini, kinerja dan performa Polri belum memuaskan publik. Segala aspek yang meliputi performa kepolisian masih negatif di mata masyarkat.

Sejalan dengan Kebijakan Reformasi Birokrasi Nasional, Polri juga telah merumuskan Program Reformasi Birokrasi Polri (RBP). Reformasi Birokrasi Polri Gelombang I, sejatinya telah dilaksanakan sejak tahun 1999 meliputi tiga aspek, yaitu instrumental, struktural dan kultural. Tujuannya adalah menciptakan Polri yang profesional, mandiri, menjadi alat negara yang efektif, serta tidak mengabaikan kepentingan masyarakat.

Reposisi Polri dari tubuh ABRI, sebagaimana UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, serta TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan Polri dari ABRI dan Pembagian Wewenang, merupakan tonggak awal kemandirian Polri dalam menentukan kebijakan organisasi.

Periode berikutnya, Polri mengulirkan RBP Gelombang II (2011-2014) yang diintegrasikan dengan Renstra Polri Tahap II, yaitu membangun kemitraan (partnership building). RBP tersebut diperkuat dengan program revitalisasi menuju pelayanan prima melalui tiga kerangka road map, yaitu penguatan institusi (institution strengthening), terobosan kreatif (creative breakthrough) dan peningkatan integritas (integrity improvement).

Secara menyeluruh sejalan dengan Rencana Pembangunan Menengah Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Polri menetapkan grand strategy yang dilaukan dalam empat tahap, yaitu Renstra tahap I (2005 – 2009), Tahap II (2010 -2014), Tahap III (2015 – 2019) dan Tahap IV (2020 – 2025). Rancangan ini dimaksudkan untuk mewujudkan postur Polri yang profesional, bermoral dan modern sebagai pelindung, penganyom  dan pelayan masyarakat yang terpercaya dalam memelihara kamtibmas dan menegakkan hukum.

Seiring dinamika masyarakat, globalisasi dunia dan tuntutan reformasi birokrasi nasional, Polri dituntut melaksanakan pelayanan publik yang akuntabilitas, responsif, berorientasi pada pelayanan profesional, transparan, mudah, murah, cepat dan tidak berbelit-belit.

Selain itu, masyarakat juga menuntut kualitas pelayanan (service quality) yang diberikan Polri. Adanya service quality yang prima, diharapkan tercipta persepsi positif dari masyarakat terhadap Polri. Sehingga diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan terhadap Polri.

Hingga saat ini, reformasi Polri belum membuahkan hasil yang maksimal. Terlihat belum ada perubahan yang signifikan terutama pada aspek kultural. Polri tetap menjadi institusi pemerintah yang tidak produktif, arogan, diskriminatif, koruptif, terlalu santai (tidak sigap) dan memanfaatkan kedudukan untuk kepentingan pribadi, hingga akhirnya justru menjadi beban masyarakat. Padahal, reformasi Polri diharapkan mampu mewujudkan Polri sebagai alat penegak hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip civil society yang bercirikan supremasi hukum dan menjunjung tinggi HAM. (Samego, 2010).

Secara nyata, kepercayaan masyarakat terhadap Polri terlihat masih rendah, karena pelayanan yang diberikan oleh Polri belum prima atau bahkan sangat buruk. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui mengapa kualitas pelayanan Polri belum prima, mengapa tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah dan mengapa reformasi yang telah dilakukan Polri belum mencapai target.

Tantangan dan tanggung jawab yang harus dilakukan Polri saat ini adalah mengembalikan kepercayaan publik kepada Polri. Untuk mencapai hal itu perlu dilakukan beberapa hal yang merupakan bagian dari reformasi total kepolisian.

Proses pembenahan pada sisi struktural dan instrumental dapat dilakukan dan selesai dalam kurun waktu yang relatif cepat dan singkat. Namun pada aspek kultural terlihat lebih sulit, masih memerlukan proses secara berkesinambungan.

Aspek Kultural Tak Ada Perubahan Signifikan   
Berdasarkan teori administrasi publik sebagai grand theory yang berkaitan dengan pelayanan publik, RBP yang dilaksanakan Polri aspek birokrasi, tampak sudah cukup baik pada pembuatan sistem atau prosedur, serta program-program untuk memperbaiki dan mengembangkan orgainisasi kepolisian. Namun yang masih menjadi masalah adalah pada tataran implementasinya. Perlu dinaikkan standar operasional dan aspek-aspek birokrasi tersebut harus ditujukan untuk pelayanan publik. Bagaimanapun canggih atau berkualitasnya birokrasi harus ter - output dalam betuk pelayanan dan kemitraan kepada publik dengan baik dan maksimal.

Pada reformasi kultural, aspek ini belum terlalu mencapai perubahan dan perbaikan yang signifikan pada aparat kepolisian. Polisi masih memiliki permasalahan kultural yang mengganggu performa kepolisian dan menunda terwujudnya ketertiban sosial yang maksimal. Polri masih memiliki mental, intelektual dan karakteristik yang masih jauh dari harapan publik, terlebih memuaskan ekspektasi publik.

Hal ini dapat terlihat, bahwa Polri masih memiliki kesan sebagai penguasa atau pejabat daripada sebagai rekan, partner atau abdi Negara, yang ditugaskan pada aspek keamanan dan ketertiban.

Selain itu, moral kepolisian juga masih belum menunjukkan kemajuan dan perbaikan yang maksimal. Moralitas koruptif kepolisian masih menjadi budaya. Polisi saat ini juga masih berkutat pada budaya, paradigma dan konsepsi lama yang belum terlalu antisipatif terhadap perkembangan zaman.

Pada tataran masyarakat, ketidak-percayaan publik terletak pada kelemahan kepolisian pada aspek tersebut. Aspek kultural adalah aspek paling penting dalam hubungannya dengan publik. Aspek kultural yang negatif menciptakan apatisme dan kebencian oleh publik di mana seharusnya dua pihak tersebut berjalan bersama-sama dalam menciptalan keamanan, ketertiban, dan instabilit sosial.

Untuk mengembangkan aspek kultural tersebut perlu dilakukan beberapa hal yang terangkum dalam tiga poin. 

Pertama, menciptakan citra polisi yang bersahabat. Hal itu dilakukan dengan lebih mengedepankan keramahan dan kesopanan serta menjunjung tinggi martabat sipil. Kenyamanan sipil haruslah menjadi prioritas pelayanan kepolisian. Masyarakat sipil bukan lagi menjadi objek namun partner dan rekan yang secara bersama menjaga ketertiban sosial.

Kedua adalah dengan menjadi polisi yang lebih bermoral. Polisi harus memiliki keluhuran tinggi dan berparadigma kepada nilai-nilai kehidupan pada tugas pelayanan publiknya. Hanya dengan inilah hukum dapat terwujud. Karena penjaga atau pelaksana hukum haruslah merupakan pihak-pihak yang telah terjamin moralnya, sehingga dapat melaksanakan tugasnya sebagai aparat penegak hukum. Polisi akhirnya benar-benar sebagai fasilitator bukan lagi sebagai pihak yang memperkeruh tugas dan tujuannya sendiri.

Ketiga, dengan menjadi polisi yang pencegah, bukan penindak. Hal ini adalah yang paling substansial. Apa arti sosial kemasyarakatan jika telah terjadi peristiwa meskipun dilakukan proses penindakan yang baik dan profesional. Kehidupan sosial yang baik adalah yang tidak ada atau yang paling jauh adalah minim dari tindakan kejahatan dan instabilitas. Aparat kemanan yang sejati adalah mencegah potensi-potensi kejahatan yang muncul bukan menindak segala peristiwa yang terjadi. * (Disarikan dari disertasi penulis pada program doktoral di STIK, berjudul Polisi Saat ini dan Harapan Masyarakat).








Polri Dan Harapan Masyarakat Masa Kini
Oleh : Irwansyah



×
Berita Terbaru Update