Cilegon – Negara benar-benar sedang absen ketika ruang publik yang semestinya milik rakyat dijadikan ladang bisnis oleh swasta.
Bahkan, proses bisnis itu ternyata tanpa ada satu rupiah pun mengalir ke kas daerah.
Pantai Sambolo 1 di Anyer, Banten, jadi bukti betapa brutalnya privatisasi berkedok pengelolaan wisata.
Yepi, pengelola Pantai Sambolo 1, tanpa rasa bersalah mengakui bahwa semua pemasukan dari tiket masuk pantai masuk ke kantong mereka.
Tak ada sepeser pun retribusi yang disetorkan kepada pemerintah daerah. Dalihnya, mereka sudah bayar sewa ke PT Patra Jasa yang merupakan anak usaha BUMN yakni PT Pertamina milik negara, senilai Rp900 juta per tahun.
"Semua masuk ke kami. Tidak ada retribusi untuk pemerintah karena kami sewa ke Patra Jasa," kata Yepi kepada Pressroom.co.id pada Minggu, (6/4).
Ironis. Kawasan pantai yang seharusnya bisa dinikmati publik, kini dipagari, diberi tarif, dan dimonopoli.
Negara? Diam. Pemerintah daerah? Bungkam.
Tiket masuk dipatok, namun yang menikmati keuntungan hanya swasta dan BUMN.
Daerah yang menjadi tuan rumah hanya kebagian macet, sampah, dan beban sosial.
Di media sosial, netizen ramai mengutuk praktik ini. Banyak yang menyebut kebijakan seperti ini sebagai bentuk penjajahan gaya baru oleh korporasi, dengan restu negara.
“Kalau begini caranya, apa bedanya pantai dengan pabrik? Semua dijual, rakyat disuruh bayar, lalu pemerintah cuma jadi penonton. Ini bukan hanya menyedihkan, tapi menjijikkan,” tulis salah satu komentar netizen yang viral di media sosial.
Kebijakan sewa-menyewa antara BUMN dengan pengelola swasta membuka ruang gelap dalam pengelolaan aset publik. Tak ada transparansi, tak ada kontrol, dan yang paling parah: tak ada keberpihakan pada kepentingan publik.
Pantai bukan lagi tempat rekreasi rakyat, tapi mesin uang yang hanya bisa dinikmati mereka yang bisa membayar. Sementara rakyat kecil, yang seharusnya bisa menikmati alam secara gratis, justru jadi objek pemalakan berkedok tiket masuk.
Pertanyaannya sederhana namun tajam: di mana peran pemerintah daerah? Mengapa bisa ada praktik komersialisasi ruang publik tanpa kontribusi untuk pembangunan wilayahnya? Apakah semua ini dilegalkan, atau sengaja dibiarkan?
Pemerintah pusat melalui BUMN bisa menyewakan kawasan pantai seenaknya. Pengelola bisa memungut tarif tanpa retribusi. Tapi rakyat hanya bisa diam, dipalak di tanah mereka sendiri.
Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin pantai-pantai lain akan bernasib sama. Dijual, dikapling, dan dikomersilkan, sementara negara terus tiarap. (Ldy)