Cilegon - Seorang apoteker di Kota Cilegon mengaku menjadi korban perlakuan tidak manusiawi oleh PT Kimia Farma yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa kompensasi sepeser pun, dan selama bekerja hanya menerima gaji di bawah Upah Minimum Kota (UMK), apoteker tersebut merasa diperlakukan seperti alat yang dibuang begitu saja setelah tak lagi berguna.
“Saya
sudah lama bekerja, tapi gaji saya di bawah UMK. Pas dipecat, tidak ada
pesangon, tidak ada penjelasan. Saya merasa diinjak martabat saya,” kata sang
apoteker yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Lebih
menyakitkan, Kimia Farma perusahaan pelat merah yang seharusnya jadi teladan
dalam kepatuhan terhadap aturan ketenagakerjaan justru memilih diam.
Dikonfirmasi berkali-kali, pihak perusahaan tidak merespon. Tak ada
klarifikasi, tak ada pembelaan, hanya kesenyapan yang semakin memekakkan.
Namun
di tengah keheningan perusahaan, Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Cilegon
akhirnya buka suara. Melalui Kepala Bidang Hubungan Industrial, Faruk, pihaknya
menyatakan akan menindaklanjuti laporan pemecatan tanpa kompensasi tersebut.
"Kami
akan pelajari dulu. Kita cek dokumen perjanjian kerjanya, lalu lihat juga
kategori usahanya di OSS (Online Single Submission), dia masuk dalam kategori
apa," ujar Faruk saat dihubungi, Senin (8/4).
Langkah
awal ini memang memberi sedikit harapan. Namun ketika pressroom.co.id
menanyakan secara spesifik soal mekanisme tindakan tegas yang akan diambil dan
sanksi apa yang dapat dijatuhkan kepada perusahaan yang tidak menggaji sesuai
UMK serta memecat tanpa kompensasi pihak Disnaker enggan memberikan jawaban.
Tak ada penjelasan, tak ada sikap tegas. Hanya jeda sunyi yang mengundang
kecurigaan.
Sikap
"setengah buka suara" ini justru menimbulkan pertanyaan lebih besar.
Apakah Dinas Tenaga Kerja benar-benar punya keberanian menghadapi perusahaan
besar? Ataukah justru ikut terperangkap dalam lingkaran ketakutan atau
pembiaran?
Salah
satu pengamat hukum menyampaikan, tindakan Kimia Farma jika terbukti benar
merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“Perusahaan wajib membayar upah sesuai UMK dan memberikan pesangon sesuai
aturan saat memutus hubungan kerja. Kalau tidak, itu jelas pelanggaran hukum,”
tegas salah satu praktisi hukum Riyadi SH.
Kini
bola panas ada di tangan Disnaker Cilegon. Apakah mereka akan berdiri di pihak
rakyat, atau terus membiarkan perusahaan besar mencederai keadilan tanpa
konsekuensi?. (Ldy)